Kamis, 22 Januari 2009

Mukaddimah


NORMA-NORMA ISLAM DALAM SYAIR JAHILIYAH
Oleh Burhan Djamaluddin

A. Pendahuluan

Para ahli sejarah kesusasteraan Arab membagi sejarah kesusasteraan Arab menjadi lima periode, yaitu: periode Jahiliyah, periode shadr al-islam (periode yang mencakup masa Rasulullah, masa Khulafa' al-Rasyidin, dan Bani Umayah), periode Abbasiyah, periode Turki dan periode Modern. (1) Permulaan periode Jahiliyah tidak dapat dipastikan oleh para ahli sejarah kesusasteraan Arab. Mereka pada umumnya menetapkan awal periode Jahiliyah , sekitar dua ratus tahun sebelum kedatangan Islam.(2) Hanya pada sekitar dua ratus tahun sebelum kedatangan Islam itulah, bukti-bukti tertulis tentang sejarah kesusasteraan Arab Jahiliyah dapat ditemukan. Hasil produk mereka pada masa-masa sebelumnya tidak dapat diketahui , sebab tidak ditemukan dalam catatan sejarah . Dalam periode Jahiliyah, terdapat sejumlah penyair terkenal dengan hasil- hasil karya mereka. Kebanyakan karya mereka sekarang terkumpul dalam buku al-mu'allaqat. Buku tersebut sangat populer di kalangan pemerhati kesusasteraan Arab. Buku ini ada dua versi, yaitu al-mu'allaqat al-sab'u dan al-mu'allaqat al-'asyr. Yang disebut pertama, sesuai namanya, memuat karya-karya tujuh penyair . Sedangkan yang disebut kedua memuat karya sepuluh penyair. Syair-syair yang ada dalam dua versi al-mu'allaqat itu , memiliki kualitas yang paling baik diantara syair-syair produk masa Jahiliyah. Kata al-mua'llaqat, dari segi etimologi, berarti yang digantung.(3) Kumpulan syair termasyhur tersebut dinamakan al-mu'allaqat, karena memang ia digantung pada dinding Ka'bah.(4) Menggantung syair pada dinding Ka'bah adalah salah satu sarana promosi hasil karya para penyair pada masa itu.Dengan cara itu, syair-syair mereka menjadi terkenal di kalangan masyarakat, sebab Ka'bah selalu dikunjungi masyarakat, sejak dibangun hingga sekarang. Disamping terkumpul dalam buku al-mu'allaqat, tentu masih banyak lagi hasil karya penyair Jahiliyah yang terdapat dalam buku-buku lainnya.

Bila kita mendengar kata Jahiliyah, ingatan kita pada umumnya langsung tertuju kepada masyarakat yang hidup di Jazirah Arab ,pada masa pra Islam dengan segala karakternya. Masyarakat yang dalam kehidupan kesehariannya penuh dengan nilai-nilai yang kemudian ternyata kebanyakan nilai itu berseberangan dengan ajaran yang dibawa oleh Islam. Meminum minuman keras, berjudi, memakan riba, berperang antar suku, dan bahkan membunuh hidup-hidup anak perempuan selalu mewarnai kehidupan mereka pada waktu itu. (5) Dalam bidang akidah , kata Jahiliyah melahirkan pemahaman bahwa mereka yang hidup pada masa itu secara umum adalah masyarakat penyembah berhala. Kata Jahiliyah,pada umumnya, tidak dipahami dengan makna yang agak dekat dengan nilai-nilai yang dibawa oleh Islam. Bahkan sangat kotroversial. Namun dua makna tersebut sama-sama tidak mengesankan makna kebodohan, padahal salah satu makna kata jahila, akar kata jahiliyah, adalah bodoh. (6)

Kata Jahiliyah tidak dipahami sebagai kata yang bermakna kebodohan, adalah sesuai dengan kenyataan, bahwa mereka yang hidup pada zaman itu banyak yang memiliki ilmu pengetahuan seperti yang dimiliki masyarakat yang sudah berperadaban tinggi . Diantara mereka ada yang menjadi sasterawan. Bahkan profesi disebut terakhir ini termasuk salah satu yang melambungkan nama mereka, dan terukir dalam sejarah hingga masa kita sekarang. Semboyan yang cukup populer di kalangan pemerhati kehidupan masyarakat Jahiliyah ialah bahwa bila seseorang ingin mengetahui sejarah kehidupan masyarakat Jahliyah, bacalah karya syair mereka.

B.Syair-Syair Jahiliyah.

Semboyan di atas memang banyak benarnya, sebab syair-syair Jahiliyah, seperti halnya syair-syair pada periode lainnya, menggambarkan kenyataan yang ada pada masyarakat tersebut. Tradisi yang sudah melekat lama di kalangan mereka, seperti yang diungkap di atas, tergambar dengan jelas dalam syair-syair hasil karya mereka. Dengan bangganya para penyair menggubah syair-syair yang bercerita mengenai minuman keras seperti khamar, merayu wanita dengan kata-kata yang menjurus kepada pornografi , menaruh dendam kusumat kepada lawan dan terkadang sampai membunuhnya, pujian yang berlebihan kepada diri sendiri atau kelompoknya atau tokoh-tokoh tertentu , dan yang paling mengerikan membunuh hidup-hidup anak perempuan yang baru dilahirkan.

Untuk mengetahui keterkaitan antara syair produk masyarakat Jahiliyah dengan kondisi kehidupan mereka, seperti diungkap di atas, berikut ini dikutip beberapa bait syair : (7)

Orang yang tidak mempertahankan diri dengan pedangnya, akan digilas oleh orang lain, dan orang yang tidak mendalimi orang lain , akan didalimi oleh orang lain.

Dalam bait syair di atas tergambar dengan jelas, kekerasan dan kekejaman masyarakat Jahiliyah. Pada bagian pertama syair ini, penyair mengungkapkan keharusan untuk mempertahankan kehormatan, walaupun dengan menggunakan senjata. Prinsip ini masih dapat dikategorikan dalam batas-batas yang wajar, sebab dalam ajaran Islam pun , seseorang dibolehkan mempertahankan diri, walaupun dengan menggunakan senjata. Namun pada bagian kedua dalam syair tersebut, tergambar kekejaman yang mewarnai kehidupan masyarakat Jahiliyah, sebab siapa pun ditekakankan untuk mengawali kedaliman kepada orang lain. Bila tidak, demikian penyair ini menegaskan, orang lain akan mendalimi lebih dahulu.

Antarah, penyair Jahiliyah lainnya, mengatakan: (8)

Pujilah diriku, sesuai dengan pengetahuanmu tentang diriku. Saya akan memperlakukan orang lain dengan sangat sopan, selama orang lain tidak mendalimiku. Tetapi ingat, jika saya didalimi, kekejamanku lebih pahit, dari makanan yang paling pahit.

Dalam bait ini, penyair membanggakan dirinya karena memiliki sifat sopan santun, selama orang lain sopan terhadap dirinya. Namun, bila orang lain dalim atau menyakiti dirinya, penyair akan membalas dengan lebih kejam. Pada bagian pertama syair ini, penyair membanggakan dirinya dengan sifat kesopanannya. Sifat sopan memang dianjurkan oleh Islam untuk dimiliki setiap orang Islam. Memperlakukan orang lain dengan cara sopan juga dianjurkan Islam. Namun pada bagian kedua dari syair itu, penyair menegaskan sifat kekejamannya untuk ingin membalas dendam terhadap orang yang pernah menyakitinya.

Dalam teks -teks agama, seperti al-Qur'an dan Hadis, tidak satu pun ayat atau hadis yang menyuruh umat Islam untuk membalas dendam kepada orang yang pernah menyakiti. Justeru ayat atau hadis banyak menyuruh umat Islam untuk memaafkan kesalahan orang lain. Diantara ayat al-Qur'an yang menganjurkan untuk memaafkan kesalahan orang lain, sekalipun orang tersebut menyakiti kita, adalah misalnya surat Ali Imran ayat 159, surat al-Ma'idah ayat 13, surat al-Baqarah ayat 109, dan 178, dan surat Ali Imran ayat 134.

Balas dendam atau tepatnya mempertahankan diri memang dibolehkan oleh ayat-ayat al-Qur'an, seperti mempertahankan diri dari orang-orang yang mengusik agama Islam, dan orang-orang yang mengusir orang Islam dari negerinya, seperti yang dijelaskan dalam surat al-Mumtahanah ayat 9.

Dalam bait syair hasil karya Zuhair berikut ini terlihat betapa besar penghinaan penyair terhadap orang yang dibencinya: (9)

Saya tidak mengerti dan betul-betul tidak mengerti, apakah penduduk Hishn memiliki kekuatan untuk mempertahakna diri. Ataukah mereka semuanya lemah bagaikan perempuan yang tidak memiliki kekuatan apa-apa untuk mempertahankan diri dari serangan musuh. (10)

Dalam bait syair di atas , penyair mengejek penduduk Hishn sebagai orang-orang lemah, dan tidak memiliki kekuatan apa-apa. Ketidakberdayaaan mereka, diumpamakannya wanita-wanita yang pada umumnya tidak memiliki kekuatan apa-apa, untuk mempertahankan diri dari orang-orang yang hendak mengganggunya.

Sifat-sifat suka mengejek orang lain, menghujat, mengumpat, atau menjelekkan orang lain, pada zaman Jahiliyah merupakan kebiasaan umum.

Demikian sebagian kecil tradisi masyarakat Jahiliyah yang dapat diungkap di sini, dan bukan pada tempatnya untuk menguraikan tindakan mereka secara keseluruhan.

C. Norma Islam Dalam Syair Jahiliyah

Sebagaimana diungkap di atas, syair-syair Jahiliyah , berisi norma-norma yang sangat bertentangan dengan norma -norma yang ada dalam Islam. Namun demikian, tidak dapat disimpulkan bahwa semua syair produk masyarakat Jahiliyah, mengandung norma-norma yang selamanya berseberangan dengan norma-norma dalam agama Islam. Sebagian syair produk mereka , ternyata mengandung nilai-nilai yang sama atau setidak-tidaknya ada kemiripan dengan norma-norma yang dibawa Islam dalam beberapa segi, antara lain sebagai berikut:

1, Dari segi Akidah.

Nilai Islam dari segi akidah dapat dilihat, misalnya, dalam hasil karya al-Nabighah al-Dzubyani, yang mengandung term-term yang dikenal dalam akidah Islam, antara lain , term Allah, dan ajaran-ajaran tentang akidah tauhid. Diantara syair produk al-Nabighat al-Dzubyani, ialah sebagai berikut : (11)

Penyair ini dengan tegas menyebut kata "Allah" dalam syair-syairnya. Kata "Allah" menurut ulama Islam, hanya boleh digunakan untuk menyebut zat yang berhak disembah, khususnya dalam keyakinan Islam.(12) Berbeda dengan kata "Allah ", kata "ilah " digunakan untuk menyebut zat yang berhak disembah dan zat yang tidak berhak disembah. Oleh karena itu, kata "ilah" muncul dalam al-Qur'an, untuk menyebut nama Allah dan nama tuhan lain yang tidak berhak disembah.

Diantara kata "ilah" yang muncul untuk menyebut tuhan yang berhak disembah dan yang tidak berhak disembah ialah dalam surat al-Baqarah ayat 163. Dalam ayat ini Tuhan menjelaskan bahwa tuhan orang-orang Islam (ilahukum) ialah Tuhan yang Maha Esa (ilah wahid). Al-Qur'an dalam ayat ini menggunakan kata ilah, bukan Allah. Ungkapan ini mengajarkan bahwa tidak selamanya Tuhan yang berhak disembah menurut agama Islam disebut Allah . Pada ayat-ayat lain , misalnya dalam surat al-Nisa' ayat 171, Allah menyebut dirinya dengan istilah ilah wahid.Dalam bait syair karya al-Nabighat al-Dzubyani, tidak jelas apakah kata "Allah",adalah zat yang disembah oleh orang Islam atau bukan. Dalam al-Qur,an,surat Luqman ayat 25, juga terdapat kata "Allah", yang diucapkan masyarakat Jahiliyah yang masih musyrik, ketika Nabi Muhammad belum berhasil mengislamkan mereka. Ketika ditanyakan kepada mereka, siapa pencipta langit dan bumi, mereka menjawab: Allah. Memang tidak jelas, apakah kata "Allah" yang mereka maksud adalah zat yang wajib disembah, menurut pengakuan ulama Islam, atau bukan. Namun, dengan merujuk kepada pengakuan ulama Islam, bahwa kata Allah hanya ditujukan kepada zat yang berhak disembah, maka masyarakat Jahiliyah pun telah mengenal zat tersebut, sebelum mereka memeluk agama Islam.

Dalam bait yang lain al-Dzubyani mengungkapkan sebagai berikut: (13)

Jangan kamu sembunyikan apa-apa yang ada dalam dadamu. Bagaimanapun kamu sembunyikan, Allah tetap mengetahuinya.

Bait di atas, disamping mengandung term "Allah", juga dengan jelas mengungkapkan sifat mahakuasanya Allah mengetahui segala sesuatu, baik yang lahir maupun yang sembunyi. Al-Qur'an sendiri setidak-tidaknya enam kali mengungkap pernyataan masyarakat Jahiliyah yang menyebut kata Allah, misalnya dalam surat al-Zumar ayat 3, dan surat al-Ankabut ayat 61 dan 63. Masyarakat Jahiliyah seperti terungkap dalam ayat-ayat ini tidak cukup menyebut istilah tuhan dengan "Allah". Lebih jauh lagi, mereka mengakui beradaaan Allah, sebagai zat yang menciptakan bumi dan langit dengan segala isinya. Dengan adanya term-term "Allah" atau "ilah" maupun norma-norma ketuhanan yang mewarnai syair-syair produk masyarakat Jahiliyah, tidak dapat dipungkiri adanya kesamaan norma-norma tersebut, dengan norma-norma yang dibawa oleh Islam. Tidak dapat diingkari bahwa apa yang diungkap al-Dzubyani, ada kesamaannya dengan ajaran mengenai ketuhanan yang dibawa oleh al-Qur'an. Tuhan menurut al-Qur'an adalah zat yang maha mengetahui, baik yang sembunyi maupun yang tidak sembunyi. Sekurang-kurangnya ada seratus ayat dalam al-Qur'an yang dengan tegas menjelaskan bahwa Tuhan dalam agama Islam memiliki sifat maha mengetahui segala sesuatu.

Seperti yang sudah umum dicatat dalam sejarah, bahwa masyarakat Jahiliyah, memiliki keyakinan kepada berhala-berhala. Mereka menyembah berhala-berhala itu, memberinya sesaji, menyembelih binatang atas nama berhala dan juga kegiatan lain yang dikaitkan dengan berhala-berhala tersebut, walaupun masyarakat Jahiliyah, membantah bahwa mereka, tidak menyembah berhala-berhala itu, tetapi melainkan hanya sebagai perantara (sarana) untuk dapat mengantarkan mereka lebih dekat kepada Allah, seperti dapat dilihat dalam al-Qur'an surat al -Zumar ayat 3. Dalam posisi mereka seperti inilah barangkali dapat dipahami adanya perbedaan mereka dengan ajaran ketuhanan dalam agama Islam.

Selanjutnya, al-Dzubyani mengatakan : (14)

Seseorang tidak dapat lari dari kematian,sebab kematian pasti akan menemuinya, sekalipun ia menaiki tangga setinggi langit.

Bait syair inipun sudah cukup gamblang berisi ajaran tentang ajal yang tidak dapat dihindari oleh seseorang, kemanapun ia akan lari. Penyair mengatakan setinggi langit pun seseorang lari menghindari kematian, kematian akan menemuinya.

Walaupun dalam ungkapan yang berbeda, al-Qur'an juga membawa ajaran tentang waktu kematian, seperti yang tercetus dalam bait syair al-Dzubyani. Al-Qura'n, seperti terungkap dalam surat al-Nisa ayat 78 , mengatakan bahwa seseorang tidak akan dapat menghindari kematian, walaupun berada dalam peti yang kokoh sekalipun.

Dalam bait yang lain lagi, al-Dzubyani masih berbicara mengenai keterbatasan manusia, bila dibanding dengan kekuasaan Allah. Al-Dzubyani mengatakan: (15)

Saya hanya dapat mengetahui apa yang terjadi hari ini dan hari-hari kemarin. Sebaliknya ,saya tidak mengetahui sama sekali apa yang akan terjadi besok pagi.

Bait syair ini ada kemiripan, walaupun tidak dapat dikatakan sama dengan al-Qur'an surat Luqman ayat 34. Dalam ayat ini, Allah mengungkapkan kekuasaan-Nya , yaitu menghetahui sesuatu yang ada dalam rahim seorang ibu. Sebaliknya, Allah menegaskan ketidakmampuan manusia untuk mengetahui apa yang akan dikerjakannya esok hari, dan di bumi mana ia akan meninggal dunia.

Dalam bait lainnya, al-Dzubyani mengatakan lagi: (16)

Janganlah kamu sembunyikan apa yang ada dalam hatimu,sebab Allah mengetahuinya. Bagaimanapun kamu sembunyikan, Allah tetap mengetahuinya.Amalan seseorang akan dicatat dalam buku catatan , kemudian akan dihisab di akhirat (hari perhitungan amal). Atau boleh jadi amalan seseorang segera dapat diberikan sanksinya di dunia ini juga.

Dalam dua bait inipun al-Dzubyani masih mengakui kemahakuasaan Allah mengetahui yang ada dalam hati seseorang, walau disimpan cukup rapi.Penyair ini tampaknya memiliki kayakinan yang kuat akan tibanya hari perhitungan di akhirat, untuk memberi ganjaran amal seseorang. Amal baik akan dibalas dengan kebaikan dan sebaliknya amal buruk akan dibalas dengan keburukan. Sebelum dihisab di akhirat nanti, demikian al-Dzubyani dalam syairnya, amalan seseorang dicatat lebih dahulu dalam suatu buku catatan.

Ajaran yang sama seperti kandungan syair al-Dzubyani, juga terdapat dalam al-Qur'an , misalnya dalam surat Qaf ayat 18, surat al-Nisa' ayat 1, dan surat al-Ahzab ayat 52. Dalam ayat-ayat itu, Allah menjelaskan kemahakuasaan-Nya mengetahuan segala tindak tanduk manusia di dunia ini. Bakan ada dua Malaikat, Raqib dan Atid, yang mencatat amal-amal tersebut. Untuk menjelaskan amal buruk manusia mendapatkan juga balasan di dunia, Allah mengungkapkannya dalam surat al-A'raf ayat 97.

C. Kesimpulan

Kenyataan -kenyataan yang ada dalam syair produk masyarakat Jahiliyah, antara lain, seperti yang diungkap di atas menunjukkan bahwa, sebagian syair-syair mereka memiliki nilai yang benar-benar jauh dari nilai-nilai yang dibawa olweh Islam. Namun sebagian lagi ada yang memiliki nilai yang tidak jauh berbeda dengan nilai-nilai yang dibawa agama Islam yang datang setelahnya. Atau kalau tidak dapat dikatakan sama, setidak-tidaknya ada kemiripan dengan nilai-nilai yang ada dalam ajaran Islam, baik dalam teks ayat-ayat al-Qur'an maupun yang ada dalam hadis Rasulullah.


Dinukil dari;

http://www.geocities.com/HotSprings/6774/m-11.html



Tidak ada komentar: