Sabtu, 31 Oktober 2009

Fiqih Ibadah Haji (1)

Sungguh Allah Ta’ala tidaklah menciptakan manusia dan jin kecuali hanya untuk menyembah-Nya semata, sebagaimana firman-Nya:

وما خلقت الجن و الإنس إلا ليعبدون

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. Adz dzariyat:56)

kemudian untuk merealisasikan penyembahan tersebut dibutuhkan suatu media yang dapat menjelaskan makna dan hakikat penyembahan yang dikehendaki Allah Ta’ala, maka dengan hikmah-Nya yang agung Dia mengutus para Rasul dalam rangka membawa dan menyampaikan risalah dan syariat-Nya kepada jin dan manusia. Dan risalah tersebut merupakan petunjuk yang jelas dan hujjah atas para hamba-Nya. Dan diantara kesempurnaan Islam Allah yang Maha Bijaksana menetapkan ibadah Haji ke Baitullah Al Haram sebagai salah satu dari syiar-syiar Islam yang agung. Bahkan ibadah haji merupakan rukun yang kelima dari rukun-rukun Islam dan merupakan salah satu sarana dan media bagi kaum muslimin untuk bersatu, meningkatkan ketaqwaan dan meraih surga yang telah dijanjikan untuk orang-orang yang bertaqwa.Oleh karena itu Islam dengan kesempurnaan syari’atnya telah menetapkan suatu tatacara atau metode yang lengkap dan terperinci sehingga tidak perlu adanya penambahan dan pengurangan dalam pelaksanaan ibadah ini. Dan sebagai seorang muslim yang baik tentunya akan berusaha dan bersemangat untuk mempelajarinya kemudian mengamalkannya setelah Allah memberikan pertolongan, kemudahan dan kemampuan baginya untuk menunaikan ibadah yang mulia ini.

Dari sinilah penulis berusaha untuk memberikan apa yang Allah Ta’ala karuniakan dari hal-hal yang berhubungan dengan ibadah yang mulia ini, sebuah ibadah yang selalu diharap-harap dan dicita-citakan kaum muslimin yang berpegang teguh dengan agamanya, mudah-mudahan hal ini bermanfaat bagi semua pihak dan dapat pula memperbaiki kesalahan-kesalahan yang banyak dilakukan sebagian para jama’ah haji serta dapat dijadikan sebagai petunjuk bagi mereka yang akan menunaikannya dan mudah-mudahan Allah Ta’ala menjadikan amalam yang kecil ini sebagai bekal bagi penulis ketika menghadap Rabb-Nya di hari yang tidak ada pertolongan dan belas kasihan kecuali dari-Nya yang Maha Kuasa lagi Maha Adil dan Maha Bijaksana.

1. Definisi Haji

a. Secara Etimologi

Kata haji berasal dari bahasa arab yang bermakna tujuan dan dapat dibaca dengan dua lafazh Al-hajj dan Al-Hijj [1]

b. Secara terminologi syariat

Haji menurut istilah syar’i adalah beribadah kepada Allah dengan melaksanakan manasik yang telah ditetapkan dalam sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam [2] dan ada pula ulama yang berpendapat: “Haji adalah bepergian dengan tujuan ke tempat tertentu pada waktu yang tertentu untuk melaksanakan suatu amalan yang tertentu pula[3]. Akan tetapi definisi ini kurang pas karena haji lebih khusus dari apa yang didefinisikan di sini, karena seharusnya ditambah dengan satu ikatan yaitu ibadah, maka apa yang ada pada definisi pertama lebih sempurna dan menyeluruh.

2. Dalil Pensyari’atannya

Haji merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima dan dia merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan bagi seorang muslim yang mampu, sebagaimana telah digariskan dan ditetapkan dalam Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’.

Adapun dalil dari Al-Qur’an:

ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلاً ومن كفر فإن الله غني عن العـالمين

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”. (QS. Ali Imran, 97)

dan firman Allah Ta’ala

وأتموا الحج والعمرة لله فإن أحصرتم فما استيسر من الهدي ولا تحلقوا رؤوسكم حتى يبلغ الهدي محلة فمن كان منكم مريضًا أو به أذًى من رأسه ففدية من صيام أو صدقة أو نسك فإذا أمنتم فمن تمتع بالعمرة إلى الحج فما استيسر من الهدي فمن لم يجد فصيام ثلاثة أيام فى الحج وسبعة إذا رجعتم تلك عشرة كاملة ذلك لمن لم يكن أهله حاضرى المسجد الحرام واتقوا الله واعلموا أن الله شديد العقاب

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum kurban sampai ke tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu dia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa, atau bersedekah, atau berkurban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan Haji), (wajiblah dia menyembelih) kurban yang mudah didapat. Tetapi jika dia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekkah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketauhilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya.” (QS. Al-Baqarah,196)

Dalil dari As-Sunnah:

Hadits yang diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu:

خطبنا رسول الله فقال يأأيها الناس قد فرض الله عليكم الحج فحجوا

“Telah berkhutbah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada kami dan berkata: “Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mewajibkan atas kalian untuk berhaji, maka berhajilah kalian.” (HR. Muslim)

Dan hadits Ibnu Umar Radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

بني الإسلام على خمس شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدًا رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة وحج البيت وصوم رمضان

“Islam itu didrikan atas lima perkara yaitu persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah (dengan benar) kecuali Allah dan bersaksi bahwa Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat,berhaji ke baitullah dan puasa di bulan ramadhan.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Dalil ijma’ (konsesus) para Ulama’

Para ulama dan kaum muslimin dari zaman Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sampai sekarang telah bersepakat bahwa ibadah haji itu hukumnya wajib.[4]

3. Syarat-syarat haji

Haji diwajibkan atas manusia dengan lima syarat:

1. Islam

2. Berakal

3. Baligh

4. Memiliki kemampuan perbekalan dan kendaraan

5. Merdeka

4. Miqat-miqat untuk haji

Miqat adalah apa yang telah ditentukan dan ditetapkan oleh syari’at untuk suatu ibadah baik tempat atau waktu.[5] Dan haji memiliki dua miqat yaitu miqat zamani dan makani. Adapun miqat zamani dimulai dari malam pertama bulan syawal menurut kosensus para ulama, akan tetapi para ulama berbeda pendapat tentang kapan berakhirnya bulan haji. Perbedaan ini terbagi menjadi tiga pendapat yang masyhur yaitu:

1.Syawal, Dzul Qa’dah, dan 10 hari dari Dzul Hijjah dan ini merupakan pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, dan Ibnu Zubair dan ini yang dipilih madzhab hanbali.

2.Syawal, Dzul Qa’dah, dan 9 hari dari Dzul Hijjah dan ini yang dipilih madzhab Syafi’i.

3.Syawal, Dzul Qa’dah, dan Dzul Hijjah ini yang dipilih madzhab malikiyah

Dan yang rajih -wallahu’alam- bahwa bulan Dzul Hijjah seluruhnya termasuk bulan haji dengan dalil firman Allah Ta’ala:

الحج أشهر معلومات فمن فرض فيهن الحج فلا رفث ولا فسوق ولا جدال فى الحج …… الأية

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat kefasikan, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (QS Al-Baqarah, 197)

dan firman Allah Ta’ala :

وأذان من الله ورسوله إلى الناس يوم الحج الأكبر أن الله بريء من المشركين

“Dan (inilah) suatu pemakluman dari Allah dan Rasul-Nya kepada manusia pada hari haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyirikin.” (QS At-Taubah 9:3)

Dalam surat Al-Baqarah ini Allah Ta’ala berfirman (أشهر) dan bukan dua bulan sepuluh hari atau dua bulan sembilan hari. padahal (أشهر) jamak dari (شهر) dan hal itu menunjukkan paling sedikit tiga bulan dan pada asalnya kata (شهر) masuk padanya satu bulan penuh dan tidak dirubah asal ini kecuali dengan dalil syar’i [6] maka tidak boleh berhaji sebelum bulan syawal dan tidak boleh mengakhirkan suatu amalan haji setelah bulan Dzulhijjah.

Sebagai contoh seorang yang berhaji pada bulan Ramadhan maka ihramnya tersebut tidak dianggap sah untuk haji akan tetapi berubah menjadi ihram untuk Umrah.

Adapun miqat makani, maka berbeda-beda tempatnya disesuaikan dengan negeri dan kota yang akan menjadi tempat awal para haji untuk melakukan ibadah hajinya. Hal ini telah dijelaskan oleh Rasullulah Shallallahu’alaihi Wasallam sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu:

وقت رسول الله لأهل المدينة ذا الحليفة ولأهل الشام الجحفة ولأهل النجد قرن ولأهل اليمن يلملم قال هن لهن لمن أتى عليهن من غير أهلهن ممن كان يريد الحج و العمرة فمن كان دونهن مهله من أهله وكذلك أهل مكة يهلون منها

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah menentukan miqat bagi ahli Madinah Dzul Hulaifah * dan bagi ahli Syam Al-Juhfah dan bagi ahli Najd Qarn dan bagi ahli Yamam Yalamlam lalu bersabda: “mereka (miqat-miqat) tersebut adalah untuk mereka dan untuk orang-orang yang mendatangi mereka selain penduduknya bagi orang yang ingin haji dan umrah. Dan orang yang bertempat tinggal sebelum miqat-miqat tersebut, maka tempat mereka dari ahlinya, dan demikian pula dari penduduk Makkah berhaji (ihlal) dari tempatnya Makkah.” (H.R Bukhari 2/165, 166; dan 3/21, Muslim 2/838-839, Abu Dawud 1/403, Nasa’i 5/94,95,96)

Dari hadits diatas Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah menerangkan bahwa miqat ahli Madinah adalah Dzul Hulaifah yang dikenal sekarang dengan nama Abyar Ali yaitu sebuah tempat di Wadi Aqiq yang berjarak enam mil atau 52/3 mil kurang seratus hasta[7] yang setara kurang lebih 11 km. dari Madinah. Dan dari makkah sejauh sepuluh marhalah atau kurang lebih 430 Km dan sebagian ulama mengatakan 435 Km. Dan miqat penduduk Syam adalah al-Juhfah yaitu suatu tempat yang sejajar dengan Raabigh dan dia berada dekat laut, jarak antara Raabigh (tempat yang sejajar dengannya) dengan makkah adalah lima marhalah atau sekitar 201 Km, dan berkata sebagian ulama sekitar 180 km. Akan tetapi karena banyaknya wabah di al-Juhfah, maka para jamaah haji dari Syam mengambil Raabigh sebagai ganti al-Juhfah. Miqat ini juga sebagai miqat penduduk Mesir, Maghrib, dan Afrika Selatan seperti Somalia jika datang melalui jalur laut atau darat dan berlabuh di Raabigh, akan tetapi kalau mereka datang melalui Yalamlam maka miqat mereka adalah miqat ahli Yaman yaitu Yalamlam. Yalamlam yang dikenal sekarang dengan daerah As Sa’diyah adalah bukit yang memisahkan Tuhamah dengan As-Saahil, berjarak dua marhalah atau sekitar 80 km dari Makkah, dan berkata sebagian ulama sekitar 92 km.

Demikian pula miqat penduduk Najd adalah Qarnul Manazil atau Qarnul Tsa’alib, yaitu sebuah bukit yang ada di antara Najd dan Hijaz. Jaraknya dari makkah dua marhalah atau sekitar 80 Km. dan berkata sebagian ulama sekitar 75 Km* demikian juga ahli Thaif dan Tuhamah Najd serta sekitarnya.[8] Kemudian ada satu miqat lagi yaitu Dzatu ‘Irq yaitu tempat yang sejajar denagn Qarnul Manazil yang terletak antara desa al-Mudhiq dan Aqiq Ath-Thaif, jaraknya dari Makkah dua marhalah atau sekitar 80 km. Dan miqat ini juga untuk penduduk Iraq. Akan tetapi terjadi perselisihan dari para ulama tetang penetapan Dzatul ‘Irq sebagai miqat, apakah didasarkan dari perintah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam atau dari perintah Umar bin Khaththab Radhiallahu’anhu?

a. Pendapat pertama menyatakan bahwa Nabilah yang menetapkannya sebagaimana dalan hadits Abu Dawud dan An-Nasa’i dari ‘Aisyah beliau berkata:

أن رسول الله وقت لأهل العراق ذات العرق

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah menentukan miqat ahli ‘Iraq adalah Dzatul ‘irq” (H.R Abu Dawud no. 1739 dan an-Nasa’i 2/6)[9]

b. Pendapat kedua mengatakan bahwa Umar bin Khaththab Radhiallahu’anhu yang menetapkannya. Sebagaimana dalam Shahih Bukhari ketika penduduk Bashrah dan Kufah mengadu kepada Umar tentang jauhnya mereka dari Qarnul Manazil, bekata Umar Radhiallahu’anhu:

فانظروا حذوها من طريقكم

“Lihatlah tempat yang sejajar dengannya (Qarnul Mnazil) dari jalan kalian.” Lalu Umar menetapkan Dzatul ‘Irq (H.R Bukhary 1/388) dan ini adalah pendapat Imam Syafi’i.

Yang rajih –wallahu’alam- bahwa miqat tersebut telah ditetapkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan penetapan Umar tersebut bersesuian dengan apa yang telah ditetapkan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, dan ini adalah pendapatnya Ibnu Qudamah.

Miqat-miqat diatas diperuntukkan bagi ahli tempat-tempat tersebut dan orang-orang yang lewat melaluinya dari selain ahlinya, sehingga setiap orang yang melewati miqat yang bukan miqatnya maka wajib baginya untuk berihram darinya. Misalnya: orang Indonesia yang melewati Madinah dan tinggal disana satu atau dua hari kemudian berangkat umrah atau haji maka wajib baginya untuk berihram dari Dzul Hulaifah atau ahli Najd atau ahli Yaman yang melewati Madinah tidak perlu pergi ke Qarnul Manazil atau Yalamlam akan tetapi diberi kemudahan oleh Allah Ta’ala untuk berihram dari Dzul Hulaifah.kecuali ahli Syam yang melewati madinah dan Al-Juhfah, maka ada perselisihan para ulama tentang kebolehan mereka menunda ihramnya sampai ke Al-Juhfah,

a. pendapat pertama membolehkan bagi mereka untuk mengakhirkan ihram mereka sampai Al-Juhfah, dan ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan Imam Malik. Mereka berdalil bahwa seorang yang melewati dua miqat wajib baginya berihram dari salah satu dari keduanya. Satu dari keduanya adalah cabang, yaitu Dzul Hulaifah, dan yang kedua adalah asal, yaitu Al-Juhfah ,maka boleh mendahulukan asal dari cabangnya. dan pendapat ini yang dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sebagaimana dinukilkan Al-Ba’ly dalam Ikhtiyarat al-Fiqhiyah halaman 117.

b. Pendapat yang kedua mengatakan bahwa mereka wajib berihram dari Dzul Hulaifah karena zhahir hadits dari Ibnu Abbas diatas, dan ini adalah pendapat Jumhur Ulama. Dan ini adalah pendapat yang lebih hati-hati kerena keumuman sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam

ولمن أتى عليهن من غير أهلهن

“Dan bagi yang datang melaluinya dari selain ahlinya” (Hadits Ibnu Abbas).

Adapun mereka yang berada di antara miqat dengan makkah maka wajib berihram dari tempat dia tetapkan niatnya untuk berhaji atau berumrah. Maka hal ini menguatkan penduduk yang berada di antara Dzul Hulaifah dan Al-Juhfah seperti penduduk ar-Rauha’, penduduk Badr dan Abyar al-Maasy untuk berihram dari tempat mereka. Demikian juga kalau ada seorang penduduk madinah kemudian bepergian ke Jeddah dan tinggal di sana satu atau dua hari kemudian ingin berumrah atau berhaji maka miqatnya adalah Jeddah kecuali kalau asal tujuan bepergiannya adalah umrah atau haji maka hajatnya tersebut ikut asal tujuannya sehingga dia ihram dari miqatnya yaitu Dzul Hulaifah. contohnya: Seorang mengatakan saya ingin pergi umrah dan saya akan turun dulu di Jeddah sebelum umrah untuk membeli barang-barang yang saya butuhkan, maka disini kepergiannya ke Jeddah adalah ikut kepada asal tujuannya yaitu umrah. Akan tetapi kalau asal tujuannya adalah pergi ke Jeddah dikarenakan ada kebutuhan yang sangat penting kemudian berkata: “Kalau dikendaki Alah dan saya mempunyai kesempatan, saya akan berumrah, maka disini umrah ikut kepada asal tujuan yaitu ke Jeddah. Maka dia berihram di Jeddah dan jika dia memilliki dua tujuan yang sama kuat maka diambil tujuan melaksanakan umrah sebagai asal. Demikian juga bagi ahli Makkah, mereka berihram dari Makkah untuk berhaji. Sedangkan untuk umrah, maka mereka harus keluar tanah haram Makkah yang paling dekat. Dengan dalil hadits Ibnu Abbas yang terdahulu dan hadits Aisyah ketika beliau berumrah setelah haji maka Rasululllah Shallallahu’alaihi Wasallam menyuruh Abdurrahman bin Abi Bakar untuk mengantarnya ke Tan’im, sebagaimana dalam hadits Abdurrahman, beliau berkata:

أمرني رسول الله أن أردف عائشة وأعمرها من التنعم

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah memerintahkanku untuk menemani Aisyah dan (Aisyah) berihram untuk umrah dari Tan’im “(H.R Mutafaq ‘alaih)

Demikianlah miqatnya ahli Makkah baik dia penduduk asli maupun pendatang berihram dari rumah-rumah mereka jika akan berhaji dan keluar ke tempat yang halal (di luar tanah haram Makkah) yang terdekat jika akan berumroh. Kemudan bagi mereka yang tidak melewati miqat-miqat tersebut, maka wajib bagi mereka untuk berihram dari tempat yang sejajar dengan miqat yang terdekat dari jalan yang dilewati tersebut.

Kesimpulan dari pembahasan ini bahwa mansia itu tidak lepas dari 3 keadaan:

1. Dia berada di dalam batas haram Makkah, ini dinamakan al-Harami atau al-Makki maka dia berikhram untuk haji dari tempat tinggalnya, dan kalau berumrah maka harus keluar dari haram dan berihram darinya.

2. Berada di luar haram Makkah dan berada sebelum Miqat maka mereka berihram dari tempatnya untuk berhaji dan berumrah.

3. Berada di luar Miqat maka mereka memiliki dua keadaan:

a. Melewati Miqat, maka wajib berihram dari miqat

b. Tidak melewati miqat kalau ke Makkah, maka mereka berihram dari tempat yang sejajar atau memilih miqat yang terdekat dengannya.

Adapun seorang yang pergi ke Makkah tidak lepas dari dua keadaan:

1. Pergi ke Makkah dengan niat haji atau umrah atau keduanya bersama-sama maka tidak boleh dia masuk makkah kecuali dalam keadaan berihram.

2. Pergi ke Makkah dengan niat tidak berhaji dan umrah, maka dalam hal ini para ulama terbagi menjadi dua:

a. Orang yang melewati miqat dan ingin masuk makkah wajib berihram baik ingin haji dan umrah ataupun yang lainnya, ini merupaka madzhab Hanafiyah dan Malikiyah.

Berdalil dengan atsar Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu:

إنه لا يدخل إلا من كان محرمًا

“Sesungguhnya tidaklah masuk (ke haram makkah) kecuali dalam keadaan berihram”.

Mereka berkata: “Ini menunjukkan bahwa seorang mukalaf kalau melewati miqat dengan niat masuk makkah maka tidak boleh memasukinya kecuali dalam berihram. Demikian juga Allah telah mengharamkan makkah dan keharaman tersebut mengharuskan masuknya dengan cara yang khusus dan kalau tidak maka sama saja dengan yang lainnya.”

b. Boleh bagi yang melewati miqat dan tidak berniat haji atau umrah untuk tidak berihram dan ini adalah madzhab Syafi’i.

Mereka berdalil sebagai berikut:

Sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

لمن أراد الحج و العمرة

“Bagi siapa saja yang ingin melaksanakan haji dan umrah” (Mutafaqun ‘Alaih)

Di sini Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam membatasi perintah berihram kepada orang yang berniat melaksanakan haji dan umrah, hal ini menunjukkan bahwa selainnya dibolehkan tidak berihram jika ingin masuk makkah

Berhujjah dengan masuknya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ke Makkah pada fathul Makkah dalam keadaan memakai topi baja pelindung kepala (al-Mighfar)

Dan yang rajih –wallahu’alam- adalah pendapat kedua yang membolehkan karena asalnya adalah tidak diwajibkan untuk berihram sampai ada dalil yang menunjukkannya. Dan ini adalah pendapat yang dirajihkan oleh Ibnu Qudamah dan Bahaudin al-Maqdisy serta Muhammad bin Muhammad al-Mukhtar asy-Syanqithy.

Dari pembahasan yang lalu menunjukkan wajibnya berihram dari miqat-miqat yang telah ditentukan oleh syar’i, lalu bagi mereka yang melewat miqat dan dia berniat haji atau umrah dan belum berihram maka dia tidak lepas dari tiga keadaan:

1. Melewati miqat dan belum berihram, lantas dia melampaui miqat beberapa jauh, kemudian kembali ke miqat untuk berihram darinya, maka hukumnya adalah boleh dan tidak terkena apa-apa, karena dia telah berihram dari tempat yang Allah perintahkan untuk berhram.

2. Melewati miqat, walaupun hanya satu kilometer, lalu berihram dan dia tidak kembali ke miqat, masalah ini ada dua gambaran:

a.Dia memiliki udzur syar’i sehingga tidak mampu untuk kembali, seperti takut kehilangan haji kalau kembali dan lain sebagainya.

b.Tidak memiliki udzur syar’i.

maka hukum kedua-duanya adalah sama, yaitu wajib menyembelih sembelihan, karena dia telah kehilangan kewajiban haji, yaitu berihram dari miqat.

3. Melewati miqat dan melampauinya, kemudian berihram setelah melampaui miqat, lalu kembali dan berihram lagi untuk kedua kali dari miqat maka dalam hal ini ada lima pendapat ulama:

a. Wajib atasnya dam (sembelihan) baik kembali atau tidak kembali, ini pendapat malikiyah dan hanabillah.

b. Tidak ada dam selama belum melaksanakan satu amalan-amalan haji atau umrah, ini madzhab Syafi’iyah

c. Kalau kembali ke miqat dalam keadaan bertalbiyah maka tidak ada dam (sembelihan) dan kalau kembali tidak bertalbiyah maka wajib atasnya dam.

d. Rusak hajinya atau umrahnya dan wajib mengulangi ihramdari miqat, ini pendapat Sa’id bin Jubair.

e. Tidak apa-apa, ini pendapat al-Hasan al-Bashry, al-Auza’i, dan ats-Tsaury.

Pendapat pertama adalah pendapat yang dirajihkan oleh Syaikh Muhammad bin Muhammad al-Mukhtar asy-Syanqithy dalam Mudzakirat Syarh ‘Umdah hal. 23.

5. Jenis-jenis Manasik Haji

Jenis-jenis manasik haji yang telah ditetapkan syariat ada tiga,yaitu:

1. Ifrad

Ifrad merupakan salah satu dari jenis manasik haji yang hanya berihram untuk haji tanpa dibarengi dengan umroh,maka seorang yang memilih jenis manasik ini harus berniat untuk haji saja, kemudian pergi ke Makkah dan ber-thawaf qudum, apabila telah ber-thawaf maka dia tetap berpakaian ihram dan dalam keadaan muhrim sampai hari nahar (tanggal 10 Dzul hijah dan tidak dibebani hadyu (sembelihan),serta tidak ber-Sa’i kecuali sekali dan umrohnya dapat dilakukan pada perjalanan yang lainnya.

Diantara bentuk-bentuk Ifrad adalah:

a. Berumroh sebelum bulan-bulan haji dan tinggal menetap di Makkah sampai haji.

b. Berumroh sebelum bulan-bulan haji, kemudian pulang ketempat tinggalnya dan setelah itu kembali ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.

2. Tamattu’

Tamatu’ adalah berihram untuk umrah di bulan-bulan haji setelah itu berihram untuk haji pada tahun itu juga. Dalam hal ini diwajibkan baginya untuk menyembelih hadyu (sembelihan). Oleh karena itu setelah thawaf dan sa’i dia mencukur rambut dan pada tanggal 8 Dzul Hijjah berihram untuk haji.

3. Qiran

Qiran adalah berihram untuk umrah dan haji sekaligus, dan membawa hadyu (sembelhan) sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, dan qiran ini memiliki tiga bentuk:

a. Berihram untuk haji dan umrah bersamaan, dengan menyatakan “لبيك عمرةً وحجًا ” dengan dalil bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam didatangi Jibril u dan berkata:

صل في هذا الوادى المبارك و قل عمرة فى حجة

“Shalatlah di wadi yang diberkahi ini dan katakan “‘Umrah fi hajjatin” (H.R Bukhari)

b. Berihram untuk umrah saja pertama kali kemudian memasukkan haji atasnya sebelum memulai thawaf. Dengan dalil hadits yang diriwayatkan ‘Aisyah ketika beliau berihram untuk umrah kemudian haidh di Saraf. Lalu Rasulullah memerintahkan beliau untuk berihlal (ihram) untuk haji dan perintah tersebut bukan merupakan pembatalan umrah dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hadits tersebut:

سعيك طوافك لحجك وعمرتك

“Cukuplah bagi kamu thawafmu untuk haji dan umrahmu” (H.R Muslim no. 2925/132)

c. Berihram untuk haji kemudan memasukkan umrah atasnya. Tentang kebolehan hal ini para ulama ada dua pendapat:

Boleh dengan dalil hadits ‘Aisyah:

أهل رسول الله Shallallahu’alaihi Wasallam بالحج

Rasululloh berihlal (ihrom) dengan haji”.

dan hadits Ibnu Umar Radhiallahu’anhu:

صل في هذا الوادى المبارك و قل عمرة فى حجة

“Shalatlah di wadi yang diberkahi ini dan katakan “‘Umrah fi hajjatin” (H.R Bukhari)

دخل العمرة فى الحج إلى يوم القيامة

“telah masuk umroh kedalam haji sampa hari kiamat”.

Dalil-dalil ini menunjukkan kebolehan memasukkan umrah kedalam haji.

Tidak boleh dan ini adalah pendapat yang masyhur dalam madzhab hanbali. Berkata Syaikhul Islam: “Dan seandainya dia berihram dengan haji kemudian memasukkan umrah ke dalamnya, maka tidak boleh menurut pendapat yang rajih dan sebaliknya dengan kesepakatan para ulama” [10]

Kemudian berselisih para ulama dari ketiga macam/jenis manasik ini dan dapat kita simpulkan menjadi tiga pendapat:

1. Tamattu’ lebih utama dan ini merupakan pendapat Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, ‘Aisyah, Alhasan, ‘Atha’, Thawus, Mujahid, Jabir bin Zaid, Al-Qarim, Saalim, Ikrimah, Ahmad bin Hanbal, dan madzhab ahli zhahir serta merupakan pendapat yang masyhur dari madzhab hanbali dan satu daru dua pendapat Imam Syafi’i.

2. Qiran lebih utama dan ini merupakan pendapat madzhab Hanafi dan Tsaury berhujjah dengan:

Hadits Anas, beliau berkata:

سمعت رسول الله أهل بها جميعًا: لبيك عمرة و حجًا، لبيك عمرة و حجًا (متفق عليه)

“Aku mendengar Rasulullah berihlal dengan keduanya: ‘Labbaik Umrotan wa hajjan (Mutafaqun Alaih)

Hadits Adh-Dhabi bin Ma’bad ketika talbiyah dengan keduanya, kemudian datang umar lalu dia menanyakannya,maka beliau berkata: “Kamu telah mendapatkan sunah Nabimu” (HR Abu Dawud no. 1798; Ibnu Majah no. 2970 ddengan sanad shahih)

Perbuatan Ali dan perkataannya kepada Utsman ketika menegurnya:

سمعت النبي يلبي بها جميعا فلم أكن أدع قول رسول الله لقولك (رواه البيهقي)

“Aku mendengar Rasulullah bertalbiyyah dengan keduanya sekalgus, maka aku tidak akan meninggallkan ucapan Rasulullah karena pendapatmu “(H.R Baihaqi)

Karena pada Qiran ada pembawaan hadyu, maka lebih utama dari yang tidak membawa.

3. Ifrad lebih utama dan ini merupakan pendapat Imam Malik dan yang terkenal dari Madzhab Syafi’i serta pendapat Umar, Utsman, Ibnu Umar, Jabir dan ‘Aisyah; dengan hujjah:

  • Hadits Aisyah dan Jabir yang menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melakukan haji ifrad
  • Karena haji tersebut sempurna tanpa membutuhkan penguat, maka yang tidak membutuhkan lebih utama dari yang membutuhkan.
  • Amalan Khulafaur Rasyidin

Sedangkan yang rajih –wallahu’alam- adalah pendapat pertama dengan dalil:

a. Hadits Ibnu Abbas, beliau berkata: ketika Rasulullah sampai di Dzi Thuwa dan menginap disana , lalu setelah shalat subuh beliau berkata:

من شاء أن يجعلهاعمرة فلييجعلها عمرة

“Barang siapa yang ingin menjadikannya umrah maka jadikanlah dia sebagai umrah” (Mutafaqun Alaihi)

b. Hadits Aisyah:

خرجنل مع رسول الله ولا أريد إلا أنه الحج، فلما قدما مكة تطوفنا بالبيت فأمر رسول الله ما لم يكن ساق الهديي أن يحل، قالت فحل من لم يكن ساق الهدي و ناؤه لم يسقن اللهدي فاحللنا

“Kami telah berangkat bersama Rasulullah dan tidaklah kami melihat kecuali itu adalah haji, ketika kami tiba di makkah kami thawaf di ka’bah, lalu Rasulullah memerintahkan orang yang tidak membawa hadyu (senmbelihan) untuk bertahalul, berkata Aisyah: maka bertahalullah orang yang tidak membawa hadyu dan istri-istri beliatidak membawa hadyu maka mereka bertahalul ” (Mutafaqun ‘Alaih)

c. Juga terdapat riwayat Jabir dan Abu Musa bahwa Rasulullah memerintahkan sahabat-sahabatnya ketika selesai thawaf di ka’bah untuk tahalul dan menjadikannya sebagai umrah.

Maka perintah pindah dari Ifrad dan Qiran kepada tamatu’ menujukkan bahwa tamattu’ lebih utama. Karena, tidaklah beliau memindahkan satu hal kecuali kepada yang lebih utama.

d. Sabda Raslullah Shallallahu’alaihi Wasallam

لو استقبلت من أمري ما استدبرت ما سقت الهدي و لجملتها عمرة

“Seandainya saya dapat mengulangi apa yang telah lalu dari amalan saya maka saya tidak akan membawa sembelihan dan menjadikannya Umrah”. (H.R Muslim Ahmad no. 6/175)

e. Kemarahan dan kekesalan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada para sahabatnya yang masih bimbang dengan anjuran beliau agar mereka menjadikan haji mereka umrah sebagaimana hadits Aisyah:

فدخل علي و هو غضبان فقلت: من اغضبا يا رسول الله اخله الله النار؟ قال أوما شعرت أني أمرت الناس بأمر فإذا هم يترددون

“Maka masuklah Ali dan beliau dalam keadaan marah, lalu aku berkata: “Siapa yang membuatmu marah wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Apakah kamu tidak tahu, aku memerintahkan orang-orang dengan suatu perintah , lalu mereka bimbang. (ragu dalam melaksanakannya) “(H.R Muslim)

Maka jelaslah kemarahan beliau ini menunjukan satu keutamaan yang lebih dari yang lainnya – والله أعلم -

Sedangkan Syaikul Islam Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa hukumnya disesuaikan dengan keadaan, kalau dia membawa hadyu (sembelihan) maka qiran lebih utama, dan apabila dia telah berumrah sebelum bulan-bulan haji maka ifrad lebih utama dan selainnya tamaRadhiallahu’anhutu’ lebih utama. Beliau berkata: “Dan yang rajih dalam hal ini adalah hukumnya berbeda-beda sesuai dengan perbedaan orang yang berhaji, kalau dia bepergian dengan satu perjalanan umrah dan satu perjalanan untuk haji atau bepergian ke Makkah sebelum bulan-bulan haji dan berumrah kemudian tinggal menetap disana sampai haji, maka dalam keadaan ini ifrad lebih utama baginya, dengan kesepakatan imam yang empat. Dan apabila dia mengerjakan apa yang telah dilakukan kebanyakan orang, yaitu mengabungkan antara umrah dan haji dalam satu kali perjalanan dan masuk Makkah dalam bulan-bulan haji, maka dalam keadaan ini qiran lebih utama baginya kalau dia membawa hadyu, dan kalau dia tidak membawa hadyu maka, ber-tahallul dari ihram untuk umrah lebih utama”[11]

[Bersambung]

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc
Artikel http://ustadzkholid.com/fiqih/fiqih-ibadah-haji-1/#more-1358


[1] Al-Mughni, 5/5

[2] Syarhul Mumti’, 7/7

[3] Muzakirat Syarhul ‘Umdatil Fiqh, Kitab Haji wal Umrah hal.1

[4] Lihat Al-Ijma, oleh Ibnul Mundzir hal 54 dan Al-Mughny 5/6

[5] Lihat Syarhl Umdah oleh Ibnu Taimiyah 2/302

[6] Lihat Syarhul Mumti’, 7/62-64 dan Syarah Umdatul Fiqh hal 14

* dikenal sekarang dengan As-Sa’diyah

[7] Syarah ‘Umdah oleh Ibnu Taimiyah 2/316

* Dikenal sekarang dengan nama As-Sail al-Kabir.

[8] Syarah Umdah Ibnu Taimiyah 2/316

[9] Hadits ini dishahihkan Al-Albani dalam Al Irwa’ 6/176

[10] Al-Ikhtiyarat Fiqhiyyah, hal 117

[11] Kitab Manasik hal. 14

Sabtu, 10 Oktober 2009

Dengarkan Murottal Al-Qur'an,,,,,,,,,,

Minggu, 27 September 2009

Lima Faedah Puasa Syawal

Alhamdulillah, kita saat ini telah berada di bulan Syawal. Kita juga sudah mengetahui ada amalan utama di bulan ini yaitu puasa enam hari di bulan Syawal. Apa saja faedah melaksanakan puasa tersebut? Itulah yang akan kami hadirkan ke tengah-tengah pembaca pada kesempatan kali ini. Semoga bermanfaat.


Faedah pertama: Puasa syawal akan menggenapkan ganjaran berpuasa setahun penuh.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.”[1]

Para ulama mengatakan bahwa berpuasa seperti setahun penuh asalnya karena setiap kebaikan semisal dengan sepuluh kebaikan yang semisal. Bulan Ramadhan (puasa sebulan penuh, -pen) sama dengan (berpuasa) selama sepuluh bulan (30 x 10 = 300 hari = 10 bulan) dan puasa enam hari di bulan Syawal sama dengan (berpuasa) selama dua bulan (6 x 10 = 60 hari = 2 bulan).[2] Jadi seolah-olah jika seseorang melaksanakan puasa Syawal dan sebelumnya berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan, maka dia seperti melaksanakan puasa setahun penuh. Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ (مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا

“Barangsiapa berpuasa enam hari setelah Idul Fitri, maka dia seperti berpuasa setahun penuh. [Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh kebaikan semisal][3].”[4] Satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kebaikan semisal dan inilah balasan kebaikan yang paling minimal.[5] Inilah nikmat yang luar biasa yang Allah berikan pada umat Islam.

Cara melaksanakan puasa Syawal adalah:

  1. Puasanya dilakukan selama enam hari.
  2. Lebih utama dilaksanakan sehari setelah Idul Fithri, namun tidak mengapa jika diakhirkan asalkan masih di bulan Syawal.
  3. Lebih utama dilakukan secara berurutan namun tidak mengapa jika dilakukan tidak berurutan.
  4. Usahakan untuk menunaikan qodho’ puasa terlebih dahulu agar mendapatkan ganjaran puasa setahun penuh. Dan ingatlah puasa Syawal adalah puasa sunnah sedangkan qodho’ Ramadhan adalah wajib. Sudah semestinya ibadah wajib lebih didahulukan daripada yang sunnah.

Faedah kedua: Puasa syawal seperti halnya shalat sunnah rawatib yang dapat menutup kekurangan dan menyempurnakan ibadah wajib.

Yang dimaksudkan di sini bahwa puasa syawal akan menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang ada pada puasa wajib di bulan Ramadhan sebagaimana shalat sunnah rawatib yang menyempurnakan ibadah wajib. Amalan sunnah seperti puasa Syawal nantinya akan menyempurnakan puasa Ramadhan yang seringkali ada kekurangan di sana-sini. Inilah yang dialami setiap orang dalam puasa Ramadhan, pasti ada kekurangan yang mesti disempurnakan dengan amalan sunnah.[6]

Faedah ketiga: Melakukan puasa syawal merupakan tanda diterimanya amalan puasa Ramadhan.

Jika Allah subhanahu wa ta’ala menerima amalan seorang hamba, maka Dia akan menunjuki pada amalan sholih selanjutnya. Jika Allah menerima amalan puasa Ramadhan, maka Dia akan tunjuki untuk melakukan amalan sholih lainnya, di antaranya puasa enam hari di bulan Syawal.[7] Hal ini diambil dari perkataan sebagian salaf,

مِنْ ثَوَابِ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا، وَمِنْ جَزَاءِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا

“Di antara balasan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya dan di antara balasan kejelekan adalah kejelekan selanjutnya.”[8]

Ibnu Rajab menjelaskan hal di atas dengan perkataan salaf lainnya, “Balasan dari amalan kebaikan adalah amalan kebaikan selanjutnya. Barangsiapa melaksanakan kebaikan lalu dia melanjutkan dengan kebaikan lainnya, maka itu adalah tanda diterimanya amalan yang pertama. Begitu pula barangsiapa yang melaksanakan kebaikan lalu malah dilanjutkan dengan amalan kejelekan, maka ini adalah tanda tertolaknya atau tidak diterimanya amalan kebaikan yang telah dilakukan.”[9]

Renungkanlah! Bagaimana lagi jika seseorang hanya rajin shalat di bulan Ramadhan (rajin shalat musiman), namun setelah Ramadhan shalat lima waktu begitu dilalaikan? Pantaskah amalan orang tersebut di bulan Ramadhan diterima?!

Al Lajnah Ad Da-imah Lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (komisi fatwa Saudi Arabia) mengatakan, “Adapun orang yang melakukan puasa Ramadhan dan mengerjakan shalat hanya di bulan Ramadhan saja, maka orang seperti ini berarti telah melecehkan agama Allah. (Sebagian salaf mengatakan), “Sejelek-jelek kaum adalah yang mengenal Allah (rajin ibadah, pen) hanya pada bulan Ramadhan saja.” Oleh karena itu, tidak sah puasa seseorang yang tidak melaksanakan shalat di luar bulan Ramadhan. Bahkan orang seperti ini (yang meninggalkan shalat) dinilai kafir dan telah melakukan kufur akbar, walaupun orang ini tidak menentang kewajiban shalat. Orang seperti ini tetap dianggap kafir menurut pendapat ulama yang paling kuat.”[10] Hanya Allah yang memberi taufik.

Faedah keempat: Melaksanakan puasa syawal adalah sebagai bentuk syukur pada Allah.

Nikmat apakah yang disyukuri? Yaitu nikmat ampunan dosa yang begitu banyak di bulan Ramadhan. Bukankah kita telah ketahui bahwa melalui amalan puasa dan shalat malam selama sebulan penuh adalah sebab datangnya ampunan Allah, begitu pula dengan amalan menghidupkan malam lailatul qadr di akhir-akhir bulan Ramadhan?!

Ibnu Rajab mengatakan, “Tidak ada nikmat yang lebih besar dari pengampunan dosa yang Allah anugerahkan.”[11] Sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun yang telah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan akan datang banyak melakukan shalat malam. Ini semua beliau lakukan dalam rangka bersyukur atas nikmat pengampunan dosa yang Allah berikan. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya oleh istri tercinta beliau yaitu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengenai shalat malam yang banyak beliau lakukan, beliau pun mengatakan,

أَفَلاَ أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ عَبْدًا شَكُورًا

“Tidakkah aku senang menjadi hamba yang bersyukur?”[12]

Begitu pula di antara bentuk syukur karena banyaknya ampunan di bulan Ramadhan, di penghujung Ramadhan (di hari Idul fithri), kita dianjurkan untuk banyak berdzikir dengan mengangungkan Allah melalu bacaan takbir “Allahu Akbar”. Ini juga di antara bentuk syukur sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu bertakwa pada Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 185)

Begitu pula para salaf seringkali melakukan puasa di siang hari setelah di waktu malam mereka diberi taufik oleh Allah untuk melaksanakan shalat tahajud.

Ingatlah bahwa rasa syukur haruslah diwujudkan setiap saat dan bukan hanya sekali saja ketika mendapatkan nikmat. Namun setelah mendapatkan satu nikmat, kita butuh pada bentuk syukur yang selanjutnya. Ada ba’it sya’ir yang cukup bagus: “Jika syukurku pada nikmat Allah adalah suatu nikmat, maka untuk nikmat tersebut diharuskan untuk bersyukur dengan nikmat yang semisalnya”.

Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan, “Setiap nikmat Allah berupa nikmat agama maupun nikmat dunia pada seorang hamba, semua itu patutlah disyukuri. Kemudian taufik untuk bersyukur tersebut juga adalah suatu nikmat yang juga patut disyukuri dengan bentuk syukur yang kedua. Kemudian taufik dari bentuk syukur yang kedua adalah suatu nikmat yang juga patut disyukuri dengan syukur lainnya. Jadi, rasa syukur akan ada terus sehingga seorang hamba merasa tidak mampu untuk mensyukuri setiap nikmat. Ingatlah, syukur yang sebenarnya adalah apabila seseorang mengetahui bahwa dirinya tidak mampu untuk bersyukur (secara sempurna).”[13]

Faedah kelima: Melaksanakan puasa syawal menandakan bahwa ibadahnya kontinu dan bukan musiman saja. [14]

Amalan yang seseorang lakukan di bulan Ramadhan tidaklah berhenti setelah Ramadhan itu berakhir. Amalan tersebut seharusnya berlangsung terus selama seorang hamba masih menarik nafas kehidupan.

Sebagian manusia begitu bergembira dengan berakhirnya bulan Ramadhan karena mereka merasa berat ketika berpuasa dan merasa bosan ketika menjalaninya. Siapa yang memiliki perasaan semacam ini, maka dia terlihat tidak akan bersegera melaksanakan puasa lagi setelah Ramadhan karena kepenatan yang ia alami. Jadi, apabila seseorang segera melaksanakan puasa setelah hari ‘ied, maka itu merupakan tanda bahwa ia begitu semangat untuk melaksanakan puasa, tidak merasa berat dan tidak ada rasa benci.

Ada sebagian orang yang hanya rajin ibadah dan shalat malam di bulan Ramadhan saja, lantas dikatakan kepada mereka,

بئس القوم لا يعرفون لله حقا إلا في شهر رمضان إن الصالح الذي يتعبد و يجتهد السنة كلها

“Sejelek-jelek orang adalah yang hanya rajin ibadah di bulan Ramadhan saja. Sesungguhnya orang yang sholih adalah orang yang rajin ibadah dan rajin shalat malam sepanjang tahun.” Ibadah bukan hanya di bulan Ramadhan, Rajab atau Sya’ban saja.

Asy Syibliy pernah ditanya, “Bulan manakah yang lebih utama, Rajab ataukah Sya’ban?” Beliau pun menjawab, “Jadilah Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Sya’baniyyin.” Maksudnya adalah jadilah hamba Rabbaniy yang rajin ibadah di setiap bulan sepanjang tahun dan bukan hanya di bulan Sya’ban saja. Kami kami juga dapat mengatakan, “Jadilah Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Romadhoniyyin.” Maksudnya, beribadahlah secara kontinu (ajeg) sepanjang tahun dan jangan hanya di bulan Ramadhan saja. Semoga Allah memberi taufik.

‘Alqomah pernah bertanya pada Ummul Mukminin ‘Aisyah mengenai amalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah beliau mengkhususkan hari-hari tertentu untuk beramal?” ‘Aisyah menjawab,

لاَ. كَانَ عَمَلُهُ دِيمَةً

“Beliau tidak mengkhususkan waktu tertentu untuk beramal. Amalan beliau adalah amalan yang kontinu (ajeg).”[15]

Amalan seorang mukmin barulah berakhir ketika ajal menjemput. Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah menjadikan ajal (waktu akhir) untuk amalan seorang mukmin selain kematian.” Lalu Al Hasan membaca firman Allah,

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

“Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu al yaqin (yakni ajal).” (QS. Al Hijr: 99).[16] Ibnu ‘Abbas, Mujahid dan mayoritas ulama mengatakan bahwa “al yaqin” adalah kematian. Dinamakan demikian karena kematian itu sesuatu yang diyakini pasti terjadi. Az Zujaaj mengatakan bahwa makna ayat ini adalah sembahlah Allah selamanya. Ahli tafsir lainnya mengatakan, makna ayat tersebut adalah perintah untuk beribadah kepada Allah selamanya, sepanjang hidup.[17]

Sebagai penutup, perhatikanlah perkataan Ibnu Rajab berikut, “Barangsiapa melakukan dan menyelesaikan suatu ketaaatan, maka di antara tanda diterimanya amalan tersebut adalah dimudahkan untuk melakukan amalan ketaatan lainnya. Dan di antara tanda tertolaknya suatu amalan adalah melakukan kemaksiatan setelah melakukan amalan ketaatan. Jika seseorang melakukan ketaatan setelah sebelumnya melakukan kejelekan, maka kebaikan ini akan menghapuskan kejelekan tersebut. Yang sangat bagus adalah mengikutkan ketaatan setelah melakukan ketaatan sebelumnya. Sedangkan yang paling jelek adalah melakukan kejelekan setelah sebelumnya melakukan amalan ketaatan. Ingatlah bahwa satu dosa yang dilakukan setelah bertaubat lebih jelek dari 70 dosa yang dilakukan sebelum bertaubat. … Mintalah pada Allah agar diteguhkan dalam ketaatan hingga kematian menjemput. Dan mintalah perlindungan pada Allah dari hati yang terombang-ambing.”[18]

Semoga Allah senantiasa memberi taufik kepada kita untuk istiqomah dalam ketaatan hingga maut menjemput. Hanya Allah yang memberi taufik. Semoga Allah menerima amalan kita semua di bulan Ramadhan dan memudahkan kita untuk menyempurnakannya dengan melakukan puasa Syawal.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Diselesaikan di Batu Merah, kota Ambon, 4 Syawal 1430 H

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/lima-faedah-puasa-syawal.html

Footnote:

[1] HR. Muslim no. 1164, dari Abu Ayyub Al Anshori
[2] Syarh Muslim, 4/186, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah.
[3] QS. Al An’am ayat 160.
[4] HR. Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban, dari Tsauban –bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1007.
[5] Lihat Fathul Qodir, Asy Syaukani, 3/6, Mawqi’ At Tafaasir, Asy Syamilah dan Taisir Al Karimir Rahman, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal. 282, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1420 H.
[6] Lihat Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 394, Daar Ibnu Katsir, cetakan kelima, 1420 H [Tahqiq: Yasin Muhammad As Sawaas]
[7] -idem-
[8] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 8/417, Daar Thoyyibah, cetakan kedua, 1420 H [Tafsir Surat Al Lail]
[9] Latho-if Al Ma’arif, hal. 394.
[10] Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah Lil Buhuts Ilmiyyah wal Ifta’, pertanyaan ke-3, Fatawa no. 102, 10/139-141
[11] Latho-if Al Ma’arif, hal. 394.
[12] HR. Bukhari no. 4837 dan Muslim no. 2820.
[13] Lihat Latho-if Al Ma’arif, hal. 394-395.
[14] Pembahasan berikut kami olah dari Latho-if Al Ma’arif, hal. 396-400
[15] HR. Bukhari no. 1987 dan Muslim no. 783
[16] Latho-if Al Ma’arif, hal. 398.
[17] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 4/79, Mawqi’ At Tafaasir, Asy Syamilah
[18] Latho-if Al Ma’arif, hal. 399.

رضيت بالله ربا وبالاسلام دينا وبمحمد صلى الله عليه وسلم نبيا ورسولا
رضيت بالله ربا وبالاسلام دينا وبمحمد صلى الله عليه وسلم نبيا ورسولا

Shalat Istikharah

bismillah....

Oleh
Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mensyariatkan umatnya agar mereka memohon pengetahuan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam segala urusan yang mereka alami dalam kehidupan mereka, dan supaya mereka memohon kebaikan didalamnya. Yaitu, dengan mengajarkan kepada mereka shalat istikharah sebagai pengganti bagi apa yang biasa dilakukan pada masa jahiliyyah, berupa ramal-meramal, memohon kepada berhala dan melihat peruntungan.

Shalat ini adalah seperti yang disebutkan di dalam hadits berikut.

Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhu, dia bercerita ; ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajarkan istikharah kepada kami dalam (segala) urusan, sebagaimana beliau mengajari kami surat dari Al-Qur’an. Beliau bersabda.

“Jika salah seorang di antara kalian berkeinginan keras untuk melakukan sesuatu, maka hendaklah dia mengerjakan shalat dua rakaat di luar shalat wajib, dan hendaklah dia mengucapkan : (‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon petunjuk kepada-Mu dengan ilmu-Mu, memohon ketetapan dengan kekuasan-Mu, dan aku memohon karunia-Mu yang sangat agung, karena sesungguhnya Engkau berkuasa sedang aku tidak kuasa sama sekali, Engkau mengetahui sedang aku tidak, dan Engkau Mahamengetahui segala yang ghaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini (kemudian menyebutkan langsung urusan yang dimaksud) lebih baik bagi diriku dalam agama, kehidupan, dan akhir urusanku” –atau mengucapkan : “Baik dalam waktu dekat maupun yang akan datang-, maka tetapkanlah ia bagiku dan mudahkanlah ia untukku. Kemudian berikan berkah kepadaku dalam menjalankannya. Dan jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini buruk bagiku dalam agama, kehidupan dan akhir urusanku” –atau mengucapkan: “Baik dalam waktu dekat maupun yang akan datang-, maka jauhkanlah urusan itu dariku dan jauhkan aku darinya, serta tetapkanlah yang baik itu bagiku di mana pun kebaikan itu berada, kemudian jadikanlah aku orang yang ridha dengan ketetapan tersebut), Beliau bersabda : “Hendaklah dia menyebutkan keperluannya” Diriwayatkan oleh Al-Bukhari [1].

Dapat saya katakan, di dalam hadits tersebut terdapat beberapa manfaat yang dapat dipetik, yaitu.

Pertama : Di dalam hadits ini, shalat istikharah disyariatkan. Dan di dalamnya juga, shalat istikharah terkesn wajib. [2]

Kedua ; Di dalamnya juga terkandung pengertian bahwa shalat istikharah itu disyariatkan dalam segala urusan, baik urusan itu besar maupun kecil, penting maupun tidak

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan :”Shalat istikharah itu disunnatkan dalam segala urusan, sebagaimana yang secara jelas disampaikan oleh nash hadits shahih ini’ [3]

Juga perlu saya katakan, bahwa mengerjakan semua kewajiban dan meninggalkan semua yang diharamkan serta menunaikan semua yang disunatkan dan meninggalkan yang makruh tidak perlu shalat istikharah

Memang benar, shalat istikharah ini mencakup yang wajib dan yang sunnat yang harus dipilih serta hal-hal yang waktunya cukup luas. [4]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan :”Shalat istikharah ini mencakup urusan-urusan besar maupun kecil. Berapa banyak masalah kecil menjadi sumber masalah besar?” [5]

Ketiga : Di dalamnya juga terdapat pengertian bahwa shalat istikharah itu dua rakaat di luar shalat wajib

Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan :”Yang tampak bahwa shalat istikharah ini dapat dikerjakan dengan dua rakaat shalat sunnat rawatib, tahiyatul masjid, dan shalat-shalat sunnat lainnya. [6]

Perlu saya katakan, maksudnya –wallahu a’lam- jika ada keinginan untuk melakukan suatu hal, maka hendaklah segera mengerjakan shalat istikharah ini. Dan menurut lahiriyah ungkapan Imam An-Nawawi rahimahullah, sama saja shalat itu diniati dengan niatkan istikharah maupun tidak. Dan itu juga yang tampak pada lahiriyah hadits.

Al-Iraqi mengemukakan : jika keinginan melakukan sesuai itu muncul sebelum mengerjakan shalat sunnat rawatib atau yang semisalnya, lalu dia mengerjakan shalat dengan tidak berniat untuk beristikharah, kemudian setelah shalat muncul keinginan untuk memanjatkan do’a istikharah, maka secara lahir, hal tersebut sudah mencukupi. [7]

Keempat : Di dalamnya disebutkan : “Istikharah itu tidak bisa dilakukan pada saat ragu-argu, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.

“Jika salah seorang di antara kalian mempunyai keinginan untuk melakukan sesuatu. Dan, karena semua do’a menunjukkan kepada hal tersebut”.

Dan jika seorang muslim merasa ragu dalam suatu hal, maka hendaklah dia memilih salah satu dari kedua hal tersebut dan memohon petunjuk dalam menentukan pilihan tersebut. dan setelah istikharah, dia biarkan semua berjalan apa adanya. Jika baik, mudah-mudahan Allah memberikan kemudahan padanya dan memberikan berkah kepadanya dalam hal tersebut. Dan jika tidak, mudah-mudahan Dia memalingkan dirinya dari hal tersebut serta memudahkan kepada yang lebih baik dengan seizin-Nya yang Mahasuci lagi Mahatinggi.

Kelima : Selain itu, di dalamnya juga terkandung pengertian, tidak ada penetapan bacaan surat atau beberapa ayat tertentu pada kedua rakaat tersebut setelah bacaan Al-Fatihah. [8]

Keenam : Di dalamnya juga terkandung pengertian bahwa pemilihan itu terlihat dengan dimudahkannya urusan itu dan diberikannya berkah padanya. Dan jika tidak demikian, maka orang yang beristikharah itu akan dipalingkan darinya dan diberikan kemudahan padanya untuk memperoleh kebaikan dimana pun kabaikan itu berada.

Ketujuh : Selain itu, jika seorang muslim mengerjakan shalat istikharah, maka akan terlihat apa yang dia inginkan, baik dadanya lapang atau tidak. [9]

Az-Zamlakani mengatakan :”Jika seseorang mengerjakan shalat istikharah dua rakaat untuk suatu hal, maka hendaklah setelah itu dia melakukan apa yang tampak olehnya, baik hatinya merasa senang maupun tidak, karena padanya kebaikan itu berada sekalipun jiwanya tidak menyukainya”. Lebih lanjut, dia mengatakan, “Di dalam hadits tersebut tidak ada syarat adanya kesenangan diri’ [10]

Kedelapan : Saat pemanjatan do’a istikarah itu berlangsung setelah salam. Yang demikian itu didasarkan pada sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Jika salah seorang di antara kalian berkeinginan keras untuk melakukan sesuatu, maka hendaklah dia mengerjakan shalat dua rakaat di luar shalat wajib, dan hendaklah dia mengucapkan ..”

Karena lahiriyahnya do’a itu dipanjatkan setelah mengerjakan shalat dua rakaat, yaitu setelah salam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berpendapat bahwa do’a istikharah itu dipanjatkan sebelum salam. [11]

[Disalin dari kitab Bughyatul Mutathawwi Fii Shalaatit Tathawwu, Edisi Indonesia Meneladani Shalat-Shalat Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Penulis Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i]
http://al-ikhwahmedia.blogspot.com/2009/04/shalat-istikharah.html
__________
Foote Note
[1]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di beberapa tempat yang di antaranya adalah di dalam Kitaabut Tahajjud, bab Maa Jaa-a fi Tathawwu Matsna Matsna (no 1162). Dan lihat juga kitab Jaami’ul Ushuul (VI/250-251)
[2]. Nailul Authaar (III/88) dan juga kitab, Tuhfatudz Dzaakiriin (hal. 134)
[3]. Al-Adzkaar (III/355 –dengan syarah Ibnu Allan)
[4]. Fathul Baari (XI/184)
[5]. Idem
[6]. Al-Adzkaar (III/354 –dengan syarah Ibnu Allan)
[7]. Beliau nukil dalam kitab Nailul Authar (III/88). Namun, pendapat tersebut ditentang oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitab, Fathul Bari (XI/185), di mana dia mengatakan, ‘Dapat dikatakan, jika dia berniat mengerjakan shalat tersebut dan shalat istikharah secara bersamaan, maka hal tersebut dibolehkan. Berbeda jika dia tidak berniat sebelumnya dan terpisah dari shalat tahiyatul masjid misalnya. Sebab, yang dimaksudkan dengan shalat istikharah di sini adalah pemanfaatan kesempatan untuk berdo’a. Dan yang dimaksud dengan shalat istikharah adalah dikerjakannya shalat yang disertai dengan bacaan do’a setelahnya atau pada saat shalat itu dikerjakan. Dan terlalu jauh untuk dipenuhi bagi orang yang mengajukan permintaan setelah shalat. Karena lahiriyah hadits tersebut, hendaknya shalat dan do’a itu dilakukan setelah adanya keinginan.

Dapat saya katakan, bahwa lahiriyah khabar ini tidak terdapat pensyaratan tentang penetapan dua rakaat. Yang jelas, kedua rakaat itu bukan shalat fardhu. Jika seorang muslim menginginkan sesuatu, lalu dia mengerjakan dua rakaat shalat rawatib Zhuhur misalnya, lalu setelahnya dia membaca do’a istilkharah, maka telah tercapai apa yang dikerjakannya itu, dan itu lahiriyah yang tampak, sebagaimana yang telah dikupas oleh Imam An-Nawawi dan Al-Iraqi terdahulu. Wallahu ‘alam.
[8]. Di dalam kitab Al-Adzkaar, (III/354 –dengan syarah Ibnu Allan), Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa di dalam kedua rakaat tersebut dibaca surat Al-Kaafiruun dan surat Al-Ikhlas.
Al-Iraqi mengatakan : “Saya tidak mendapatkan satu pun dari beberapa jalan hadits ini tentang penetapan bacaan dalam kedua rakaat shalat istikharah, tetapi apa yang disampaikan oleh Imam An-Nawawi sudah tepat ..’ Syarh Al-Adzkaar, Ibnu Allan(III/345).
Dapat saya katakan, ketetapan tersebut tidak disebutkan pada pensyariatan dan penetapan. Wabillahit taufiq
[9]. Hal ini jelas berbeda dengan Imam An-Nawawi saat dia mengatakan :”Dan jika dia mengerjakan shalat istikharah, maka setelahnya, dadanya akan terbuka lebar untuknya”. Al-Adzkaar (III/355-356 –dengan syarah Ibnu Allan-). Dan dia telah bersandar pada hadits dhaif jiddan dalam hal tersebut. Fathul Baari (XI/187).
Dan Al-Izz bin Abdis Salam telah mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan apa yang disampaikan oleh An-Nawawi, bahwa orang yang beristikharah itu akan berjalan kepada apa yang dikehendaki, baik dirinya terbuka untuk itu atau tidak. Al-Iraqi menarjih fatwa tersebut dan menolak pendapat Imam An-Nawawi. Dan dia disetujui oleh Ibnu Hajar. Syarh Al-Adzkaar li Ibni Allan III/357.
[10]. Thabaqaat Asy-Syafi’iyyah, At-Taaj Ibnus Subki (IX/206)

Menunda Nikah : sebab dan solusinya

Menikah merupakan sunnah (jalan hidup) para nabi dan rasul 'alaihimus salam sebagaimana difirmankan Allah Subhannahu wa Ta'ala, "Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan." (QS. Ar-Ra'd : 38).

Menikah juga merupakan nikmat Allah kepada hamba-hambaNya yang dengannya akan diperoleh maslahat dunia dan akhirat, pribadi dan masyarakat, sehingga Allah menjadikannya sebagai salah satu tuntutan syara'.

Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, "Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang patut (kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan." (QS. 24 : 32).

Menunda nikah kalau kita perhatikan, kini telah menjadi sebuah fenomena di masyarakat yang cukup menarik perhatian berbagai kalangan. Penundaan tersebut memiliki beberapa sebab, di antaranya ada yang berkaitan dengan keluarga dan masyarakat, ada pula yang terkait langsung dengan para pemuda dan pemudi sendiri.

Di bawah ini di antara sebab-sebab yang menjadikan para pemuda dan pemudi menunda nikah :

1. Lemahnya Pemahaman Syar'i Tentang Nikah
Seseorang jika tahu bahwa sesuatu itu adalah ibadah, maka segala apa yang dihadapinya akan tampak lebih ringan. Halangan dan rintangan yang ada, meskipun berat akan dihadapi dengan lapang dada dan penuh kesabaran, sehingga urusan menjadi terasa lebih mudah. Di dalam nikah, terdapat beberapa bentuk ibadah, di antaranya : Untuk menjaga para pemuda dan pemudi dari perbuatan negatif dan dosa, serta untuk melahirkan generasi pilihan yang siap beribadah kepada Allah, mendirikan shalat, berpuasa dan berjuang di jalanNya.

2. Biaya yang Berlebihan
Angka rupiah yang melambung tinggi untuk biaya nikah terkadang menjadi momok tersendiri bagi para pemuda, sehingga hal itu menjadi beban bagi diri dan keluarganya.
Masalah ini biasanya lebih dikarenakan alasan adat, ikut-ikutan, gengsi, atau mengikuti trends. Ini semua menyalahi ajaran Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam dan merupakan penghalang bagi pemuda-pemudi untuk menikah.

3. Terikat dengan Studi
Sebagian pemuda ada yang tidak memikirkan nikah sama sekali, kecuali setelah selesai studinya. Bahkan hingga tingkat pasca sarjana atau doktoral di luar negeri, hingga bertahun-tahun. Demikian pula dengan para pemudinya yang kuliah untuk dapat mengejar jenjang akademisnya, hingga mengabaikan masalah pernikahan.

4. Kekeliruan Cara Pandang Terhadap Pemuda Pelamar
Ketika ada seorang pemuda melamar gadis, maka yang pertama ditanyakan adalah apa pekerjaannya dan berapa penghasilan atau gajinya. Dan karena penghasilan yang kurang besar, banyak para pemuda yang tidak diterima lamarannya, padahal tidak seharusnya demikian.

5. Banyaknya Pengaruh dari Orang Lain
Baik itu dari tetangga, kerabat, teman atau sesama pemuda, padahal mereka bukanlah orang-orang yang faham ilmu syar'i. Orang-orang tersebut memberikan pertimbangan- pertimbangan yang kurang proporsional sehingga menjadikan lemah dan kendornya semangat untuk menikah.

6. Belum Ketemu yang Didambakan
Ada sebagian pemuda yang menunda-nunda nikah karena mencari wanita yang betul-betul memenuhi kriteria impiannya, sempurna dari semua segi. Bahkan boleh jadi ada yang membatalkan lamaran karena si wanita tadi kurang tinggi beberapa senti saja. Demikian pula dengan pemudinya yang mendambakan laki-laki yang sempurna dari segala sisi, sehingga setiap ada pemuda yang melamar selalu ditolak karena tidak memenuhi kriteria yang didambakan.

7. Kurang Adanya Kerja Sama di Masyarakat
Kerjasama di masyarakat untuk saling memberi informasi pemuda-pemudi yang siap menikah, dirasakan masih kurang.

8. Merebaknya Media yang Merusak
Seperti menampilkan acara-acara yang menggambarkan permasalahan- permasalahan rumah tangga, pertengkaran suami istri, antara istri dengan keluarga suami dan lain-lain. Hal ini berpengaruh, ketika seorang pemuda akan melamar, yaitu munculnya persangkaan negatif dan rasa curiga yang berlebihan.

9. Kurangnya Rasa Tanggung Jawab di Kalangan Pemuda
Tidak adanya keseriusan seorang pemuda di dalam mengemban tanggung jawab hidup, terkadang merupakan penghalang untuk menikah. Mereka merasa amat berat dan lemah menghadapi kehidupan, apalagi kehidupan rumah tangga. Karena mereka tumbuh dan terbiasa dalam kondisi santai, serba enak, dan dimanja.

10. Banyaknya Media dan Tempat Hiburan
Maraknya tempat-tempat hiburan dan tempat-tempat yang merusak, ditambah dengan sarana transportasi dan telekomunikasi yang tidak dimanfaatkan dengan benar menjadikan fitnah tersebar di mana-mana. Maka tak jarang pemuda atau pemudi asyik dan terlena dengan semua itu, sehingga tidak ada perhatian sama sekali terhadap nikah.

11. Budaya Hubungan Pra-Nikah (Pacaran)
Jika seorang pemuda mengikat hubungan dengan pemudi sebelum menikah, maka pada dasarnya sama saja dengan menjerumuskan diri ke dalam bahaya dan kesulitan. Hal ini juga berdampak kepada si gadis, ketika akan dilamar, maka mungkin dia menolak dengan alasan telah ada hubungan dengan pemuda lain, padahal sebenarnya pemuda tersebut bukanlah apa-apanya.

12. Keberatan Orangtua terhadap Anak Gadisnya
Terutama jika si anak memiliki penghasilan yang lumayan besar atau ia seorang anak yang berbakti, biasanya si orangtua berat hati melepasnya karena masih ingin mendapat perhatian atau pelayanan darinya.

***

Solusi

Masalah menunda pernikahan bagi pemuda dan pemudi merupakan masalah yang cukup serius dan memiliki dampak negatif yang amat banyak. Maka sebagai jalan keluarnya dalam kesempatan ini disampaikan beberapa saran kepada masyarakat umum dan lebih khusus para orangtua dan walinya. Di antaranya yaitu :

1. Memberikan pengarahan secara intensif kepada masyarakat tentang tujuan menikah, kebaikan yang diperoleh, hukum, dan adabnya. Hendaknya disampaikan secara sederhana dan dengan bahasa yang mudah. Tujuannya supaya dapat menghilangkan anggapan keliru seputar pernikahan masa muda.

2. Menyebarluaskan pernikahan para pemuda/pemudi dan memberikan pujian kepada mereka serta orang tuanya.

3. Senantiasa mengingatkan bahwa usia yang paling utama untuk menikah adalah di masa muda. Alangkah indah jawaban yang disampaikan oleh seseorang ketika ditanya, "Kapan usia yang tepat untuk menikah? Maka ia menjawab, "Kapan selayaknya seseorang itu makan? Maka orang tentu akan menjawab, "Ketika ia lapar." Demikian pula ketika seorang remaja telah melewati masa baligh, maka itulah waktu yang sangat pas untuk menikah karena tuntutan kebutuhan fithrah dan sebagai penjagaan dari berbagai perilaku negatif.

4. Memberikan dorongan dan anjuran kepada para orangtua dan kerabat agar menikahkan putra-putrinya di usia muda serta memperingatkan akan bahaya dan dampak negatif dari menunda-nundanya.

5. Membiasakan agar tidak bermewah-mewahan di dalam mengadakan walimah, sebab hal ini sering menjadi masalah bagi para pemuda yang ingin menikah. Nabi telah bersabda, "Adakan walimah meski hanya dengan seekor kambing!" Jelas sekali bahwa walimah tidak harus memaksakan diri dengan sesuatu yang serba mewah.

6. Mengajak kepada masyarakat agar memberikan keringanan dalam mahar (maskawin).

7. Senantiasa memberikan dorongan dan anjuran untuk menikah, karena ia merupakan salah satu sunnah Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam.

8. Hendaknya bagi orang yang memiliki kelebihan dan keluasan harta supaya memberikan bantuan kepada saudara, teman, atau kerabatnya yang membutuhkan biaya pernikahan demi untuk menjaga para pemuda dan pemudi dari hal-hal yang negatif. Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin memperbolehkan penyaluran dana zakat untuk membantu para fakir miskin yang membutuhkan biaya pernikahan khusus untuk membayar mahar dan biaya pernikahan saja.

9. Menganjurkan para pemuda, baik melalui teman-temannya atau kerabatnya supaya memberikan dorongan untuk menikah. Juga menganjurkan para wali agar bersegera menikahkan putrinya atau para gadis yang berada dalam tanggungannya.

10. Memberikan kabar gembira bahwa menikah merupakan salah satu sebab dibukanya pintu rizki, sebagaimana disabdakan Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam, "Tiga orang yang akan dijamin pertolongan dari Allah : Orang yang menikah karena ingin menjaga diri, mukatib (hamba sahaya yang ingin memerdekakan diri) yang menepati janjinya, dan orang yang berperang di jalan Allah."

11. Memperingatkan para pemuda untuk tidak menyia-nyiakan harta dan agama, berfoya-foya dan senang-senang, suka melancong, dan menghambur-hamburka n uang. Ingatkan pula bahwa menikah itu tidaklah membutuhkan biaya yang sangat besar, bahkan boleh jadi biaya yang digunakan sekali jalan dalam melancong adalah lebih besar daripada biaya pernikahan.

12. Bagi yang telah lebih dahulu menikah hendaklah memberikan pengarahan yang logis dengan penuh hikmah kepada para pemuda. Janganlah terlalu idealis di dalam memilih pendamping hidup, cukuplah sabda Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam menjadi acuan di dalam hal memilih istri. Beliau mengatakan bahwa wanita dinikahi karena empat hal dan beliau menjadikan yang paling utama adalah yang baik agamanya.

13. Memperingatkan keluarga dan kerabat agar jangan menunda-nunda pernikahan putri-putrinya. Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam pernah bersabda kepada shahabat Ali Radhiallaahu anhu, "Tiga perkara wahai Ali, janganlah engkau menunda-nunda, shalat jika telah masuk waktunya, jenazah bila telah siap dishalatkan, wanita sendirian jika telah ada jodoh-nya." (HR. Ahmad).

14. Membentuk keluarga dan lingkungan yang baik dan Islami yang mengerti dan bersungguh-sungguh dengan ajaran Islam. Sehingga dampaknya adalah akan memberikan dukungan yang besar terhadap berkembangnya ajaran dan sunnah Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam termasuk salah satunya adalah menikah.

15. Memperingatkan para ibu dan bapak agar bersegera menikahkan putra-putrinya jika telah siap. Karena menundanya terkadang akan memberikan dampak negatif berupa penyimpangan moral atau terjadinya hubungan yang diharamkan. Dan sebagai orangtua tentu juga memperoleh dosa akibat kelalaian yang diperbuatnya.

Sumber : Kutaib "Ya Abbi Zawwijni" Abdul Malik al-Qasim.
Sumber : http://dajal007.multiply.com/journal/item/119

[Mata adalah penuntun, dan hati adalah pendorong dan penuntut. Mata memiliki kenikmatan pandangan dan hati memiliki kenikmatan pencapaian. Keduanya merupakan sekutu yang mesra dalam setiap tindakan dan amal perbuatan manusia, dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain]

Nyanyian Telah Membuatku Lalai dariNya

musikImam Asy Syafi’i mengatakan, “Nyanyian adalah suatu hal yang sia-sia yang tidak kusukai karena nyanyian itu adalah seperti kebatilan. Siapa saja yang sudah kecanduan mendengarkan nyanyian, maka persaksiannya tertolak.” (Talbis Iblis, 283)

Hidup di akhir zaman, siapa saja tidak lepas dari lantunan suara musik atau nyanyian. Mungkin di antara kita –dulunya- adalah orang-orang yang sangat gandrung terhadap lantunan suara seperti itu. Bahkan mendengar lantunan tersebut juga sudah menjadi sarapan tiap harinya. Itulah yang juga terjadi pada sosok si fulan. Hidupnya dulu tidaklah bisa lepas dari “gitar” dan musik. Namun, sekarang hidupnya jauh berbeda. Setelah Allah mengenalkannya dengan Al Haq (penerang Al Qur’an dan As Sunnah), dia pun perlahan-lahan menjauhi berbagai nyanyian. Alhamdulillah, dia pun mendapatkan ganti yang lebih baik yaitu dengan Kalamullah (Al Qur’an) yang semakin membuat dirinya mencintai dan merindukan perjumpaan dengan Allah.


Lalu apa yang menyebabkan hatinya bisa berpaling kepada Kalamullah dan meninggalkan nyanyian? Tentu saja, karena taufik Allah kemudian siraman ilmu. Dengan ilmu syar’i yang dia dapati, hatinya mulai tergerak dan mulai sadarkan diri. Dengan mengetahui dalil Al Qur’an dan Hadits yang membicarakan bahaya lantunan yang melalaikan, dia pun mulai meninggalkannya perlahan-lahan. Juga dengan bimbingan kalam-kalam para ulama, dia semakin jelas dengan hukum keharamannya.


Alangkah baiknya jika kita melihat dalil-dalil yang dimaksudkan dan juga perkataan para ulama masa silam mengenai hukum nyanyian. Mungkin kita adalah di antara orang-orang yang gandrung. Semoga dengan mengetahui hal ini, Allah membuka hati kita dan memberi hidayah pada kita seperti yang didapatkan si fulan tadi. Allahumma a’in wa yassir (Ya Allah, tolonglah dan mudahkanlah).


Beberapa Ayat Al Qur’an yang Membicarakan “Nyanyian”


[Pertama] Nyanyian dikatakan sebagai “lahwal hadits” (perkataan yang tidak berguna)
Allah Ta’ala berfirman,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ آيَاتُنَا وَلَّى مُسْتَكْبِرًا كَأَنْ لَمْ يَسْمَعْهَا كَأَنَّ فِي أُذُنَيْهِ وَقْرًا فَبَشِّرْهُ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar gembiralah padanya dengan azab yang pedih.” (QS. Luqman: 6-7)


Ibnu Jarir Ath Thabariy -rahimahullah- dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa para pakar tafsir berselisih pendapat apa yang dimaksud dengan “lahwal hadits” dalam ayat tersebut. Sebagian mereka mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah nyanyian dan mendengarkannya. Lalu setelah itu Ibnu Jarir menyebutkan beberapa perkataan ulama salaf mengenai tafsiran ayat tersebut. Di antaranya adalah dari Abu Ash Shobaa’ Al Bakri –rahimahullah-. Beliau mengatakan bahwa dia mendengar Ibnu Mas’ud ditanya mengenai tafsiran ayat tersebut, lantas beliau –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan, “Yang dimaksud adalah nyanyian, demi Dzat yang tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi selain Dia.” Beliau menyebutkan makna tersebut sebanyak tiga kali. (Lihat Jami’ul Bayan fii Ta’wilil Qur’an, 20/127).


Begitu pula tafsiran yang sama dikatakan oleh Mujahid, Sa’ib bin Jubair, ‘Ikrimah, dan Qotadah. Dari Ibnu Abi Najih, Mujahid berkata bahwa yang dimaksud lahwu hadits adalah bedug (genderang). (Zaadul Maysir, Ibnul Jauziy, 5/105).


Asy Syaukani dalam kitab tafsirnya mengatakan, “Lahwal hadits adalah segala sesuatu yang melalaikan seseorang dari berbuat baik. Hal itu bisa berupa nyanyian, permainan, cerita-cerita bohong dan setiap kemungkaran.” Lalu Asy Syaukani menukil perkataan Al Qurtubhi yang mengatakan bahwa tafsiran yang paling bagus untul makna lahwal hadits adalah nyanyian. Inilah pendapat para sahabat dan tabi’in. (Lihat Fathul Qadir, 5/483)

Jika ada yang mengatakan, “Penjelasan tadi kan hanya penafsiran sahabat, bagaimana mungkin bisa jadi hujjah (dalil)?”


Maka cukup kami katakan bahwa tafsiran sahabat terhadap suatu ayat bisa sebagai hujjah bahkan bisa dianggap sama dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (derajat marfu’). Simaklah perkataan Ibnul Qayyim setelah menjelaskan penafsiran mengenai “lahwal hadits” sebagai berikut,
“Al Hakim Abu ‘Abdillah dalam kitab tafsirnya di Al Mustadrok mengatakan bahwa seharusnya setiap yang haus akan ilmu mengetahui bahwa tafsiran sahabat –di mana para sahabat lah yang menyaksikan turunnya wahyu- menurut Bukhari dan Muslim dianggap sebagai perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di tempat lainnya beliau mengatakan bahwa menurutnya tafsiran sahabat tentang suatu ayat sama statusnya dengan hadits marfu’ (yang sampai pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).” Lalu Ibnul Qayyim mengatakan, “Walaupun itu adalah tafsiran sahabat, tetap tafsiran mereka lebih didahulukan daripada tafsiran orang-orang sesudahnya. Alasannya, mereka adalah umat yang paling mengerti tentang maksud dari ayat yang diturunkan oleh Allah karena Al Qur’an turun di masa mereka hidup.”(Lihat Ighatsatul Lahfan, 1/240)
Jadi, jelaslah bahwa makna lahwal hadits dengan nyanyian patut kita terima karena ini adalah perkataan sahabat yang statusnya bisa sama dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[Kedua] Orang-orang yang bernyanyi disebut “saamiduun
Allah Ta’ala berfirman,

أَفَمِنْ هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ , وَتَضْحَكُونَ وَلا تَبْكُونَ , وَأَنْتُمْ سَامِدُونَ , فَاسْجُدُوا لِلَّهِ وَاعْبُدُوا

Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu saamiduun? Maka bersujudlah kepada Allah dan sembahlah (Dia). (QS. An Najm: 59-62)


Apa yang dimaksud saamiduun?
Menurut salah satu pendapat, makna saamiduun adalah bernyanyi dan ini berasal dari bahasa orang Yaman. Mereka biasa menyebut “ismud lanaa” dan maksudnya adalah: “Bernyanyilah untuk kami”. Pendapat ini diriwayatkan dari ‘Ikrimah dan Ibnu ‘Abbas. (Lihat Zaadul Maysir, 5/448)
‘Ikrimah mengatakan, “Mereka biasa mendengarkan Al Qur’an, lalu mereka malah bernyanyi. Kemudian turunlah ayat ini (surat An Najm di atas).” (Ighatsatul Lahfan, /258)
Jadi, dalam dua ayat ini teranglah bahwa mendengarkan “nyanyian” adalah suatu yang dicela dalam Al Qur’an.

Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Mengenai Nyanyian

[Hadits Pertama]
Bukhari membawakan dalam Bab “Siapa yang menghalalkan khomr dengan selain namanya” sebuah riwayat dari Abu ‘Amir atau Abu Malik Al Asy’ari telah menceritakan bahwa dia tidak berdusta, lalu dia menyampaikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ ، يَأْتِيهِمْ - يَعْنِى الْفَقِيرَ - لِحَاجَةٍ فَيَقُولُوا ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا . فَيُبَيِّتُهُمُ اللَّهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ ، وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

“Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan umatku sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat musik. Dan beberapa kelompok orang akan singgah di lereng gunung dengan binatang ternak mereka. Seorang yang fakir mendatangi mereka untuk suatu keperluan, lalu mereka berkata, ‘Kembalilah kepada kami esok hari.’ Kemudian Allah mendatangkan siksaan kepada mereka dan menimpakan gunung kepada mereka serta Allah mengubah sebagian mereka menjadi kera dan babi hingga hari kiamat.” (Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq dengan lafazh jazm/ tegas). Jika dikatakan menghalalkan musik, berarti music itu haram.
Hadits di atas dishahihkan oleh banyak ulama, di antaranya adalah: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Istiqomah (1/294) dan Ibnul Qayyim dalam Ighatsatul Lahfan (1/259). Begitu pula hal yang sama dikatakan oleh An Nawawi, Ibnu Rajab Al Hambali, Ibnu Hajar dan Asy Syaukani –rahimahumullah-.

Memang ada sebagian ulama semacam Ibnu Hazm dan orang-orang yang mengikuti pendapat beliau sesudahnya seperti Al Ghozali yang menyatakan cacatnya hadits di atas, sehingga mereka pun menghalalkan musik. Alasannya, mereka mengatakan bahwa sanad hadits ini munqothi’ (terputus) karena Al Bukhari tidak me-maushul-kan sanadnya (menyambungkan sanadnya). Untuk menyanggah hal ini, kami akan kemukakan 5 sanggahan sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim:


Pertama, Al Bukhari betul bertemu dengan Hisyam bin ‘Ammar dan beliau betul mendengar langsung darinya. Jadi, jika Al Bukhari mengatakan bahwa Hisyam berkata, maka itu sama saja dengan perkataan Al Bukhari langsung dari Hisyam.
Kedua, jika Al Bukhari belum pernah mendengar hadits itu dari Hisyam, tentu Al Bukhari tidak akan mengatakan dengan lafazh tegas (jazm). Jika beliau mengatakan dengan lafazh jazm (tegas), maka sudah pasti beliau mendengarnya langsung dari Hisyam. Inilah yang paling mungkin, karena begitu banyak orang yang meriwayatkan dari Hisyam dan dia adalah guru yang sudah sangat masyhur. Sedangkan Al Bukhari adalah hamba yang sangat tidak mungkin melakukan tadlis (kecurangan dalam periwayatan).
Ketiga, Al Bukhari memasukkan hadits ini dalam kitabnya yang disebut dengan kitab shahih, yang tentu saja hal ini bisa dijadikan hujjah (dalil). Seandainya hadits tersebut tidaklah shahih menurut Al Bukhari, lalu mengapa beliau memasukkan hadits tersebut dalam kitab shahih[?]
Keempat, Al Bukhari membawakan hadits ini secara mu’allaq (di bagian awal sanad ada yang terputus). Namun di sini beliau menggunakan lafazh jazm (pasti, seperti dengan kata qoola yang artinya dia berkata) dan bukan tamridh (seperti dengan kata yurwa atau yudzkaru, yang artinya telah diriwayatkan atau telah disebutkan). Jadi, jika Al Bukhari mengatakan, “Qoola: qoola Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam [dia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ...]”, maka itu sama saja beliau nengatakan hadits tersebut disandarkan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kelima, seandainya berbagai alasan di atas kita buang, maka hadits ini tetaplah shahih dan bersambung karena dilihat dari jalur lainnya, sebagaimana akan dilihat pada hadits berikutnya. (Lihat Ighatsatul Lahfan, 1/259-260)


[Hadits Kedua]
Dari Abu Malik Al Asy’ari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيَشْرَبَنَّ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِى الْخَمْرَ يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا يُعْزَفُ عَلَى رُءُوسِهِمْ بِالْمَعَازِفِ وَالْمُغَنِّيَاتِ يَخْسِفُ اللَّهُ بِهِمُ الأَرْضَ وَيَجْعَلُ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ
Sungguh, akan ada orang-orang dari ummatku yang meminum khamr, mereka menamakannya dengan selain namanya. Mereka dihibur dengan musik dan alunan suara biduanita. Allah akan membenamkan mereka ke dalam bumi dan Dia akan mengubah bentuk mereka menjadi kera dan babi.” (HR. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

[Hadits Ketiga]
Dari Nafi’ –bekas budak Ibnu ‘Umar-, beliau mengatakan,
عُمَرَ سَمِعَ ابْنُ عُمَرَ صَوْتَ زَمَّارَةِ رَاعٍ فَوَضَعَ إِصْبَعَيْهِ فِى أُذُنَيْهِ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ عَنِ الطَّرِيقِ وَهُوَ يَقُولُ يَا نَافِعُ أَتَسْمَعُ فَأَقُولُ نَعَمْ. قَالَ فَيَمْضِى حَتَّى قُلْتُ لاَ. قَالَ فَوَضَعَ يَدَيْهِ وَأَعَادَ الرَّاحِلَةَ إِلَى الطَّرِيقِ وَقَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَسَمِعَ صَوْتَ زَمَّارَةِ رَاعٍ فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا

Ibnu ‘Umar pernah mendengar suara seruling dari seorang pengembala, lalu beliau menyumbat kedua telinganya dengan kedua jarinya. Kemudian beliau pindah ke jalan yang lain. Lalu Ibnu ‘Umar berkata, “Wahai Nafi’, apakah kamu masih mendengar suara tadi?” Aku (Nafi’) berkata, “Iya, aku masih mendengarnya.”
Kemudian Ibnu ‘Umar terus berjalan, lalu aku berkata, “Aku tidak mendengarnya lagi.”
Barulah setelah itu Ibnu ‘Umar melepaskan tangannya dari telinganya dan kembali ke jalan itu lalu berkata, “Beginilah aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendengar suara seruling dari seorang pengembala. Beliau melakukannya seperti tadi.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Dari dua hadits pertama dijelaskan mengenai keadaan umat Islam nanti yang akan menghalalkan musik,berarti sebenarnya musik itu haram kemudian ada yang menganggap halal. Begitu pula pada hadits ketiga yang menceritakan kisah Ibnu ‘Umar bersama Nafi’. Ibnu ‘Umar mencontohkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal yang sama dengannya yaitu menjauhi dari mendengar musik, sehingga hal ini menunjukkan bahwa musik itu jelas-jelas terlarang.
Jika ada yang mengatakan bahwa sebenarnya yang dilakukan Ibnu ‘Umar tadi hanya menunjukkan bahwa itu adalah cara terbaik tatkala mendengar suara nyanyian atau alat musik, namun tidak berdosa. Maka cukup kami katakan sebagaimana yang dikatakan oleh Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni (julukan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah),
“Demi Allah, bahkan mendengarkan nyanyian (atau alat musik) adalah bahaya yang mengerikan pada agama seseorang, tidak ada cara lain selain dengan menutup jalan agar tidak mendengarnya.” (Majmu’ Al Fatawa, 11/567)

Kalam Para Ulama Salaf Mengenai Nyanyian (Musik)


Ibnu Mas’ud mengatakan, “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air menumbuhkan sayuran.
Al Qasim bin Muhammad pernah ditanyakan tentang nyanyian lalu beliau menjawab, “Aku melarang nyanyian padamu dan aku membenci jika engkau mendengarnya.” Lalu orang yang bertanya tadi mengatakan, “Apakah nyanyian itu haram?” Al Qasim pun mengatakan,”Wahai anak saudaraku, jika Allah telah memisahkan yang benar dan yang keliru, lantas pada posisi mana Allah meletakkan ‘nyanyian’[?]
‘Umar bin ‘Abdul Aziz pernah menulis surat kepada guru yang mengajarkan anaknya, isinya adalah: ”Hendaklah yang pertama kali diyakini oleh anak-anakku dari budi pekertimu adalah kebencianmu pada nyanyian. Karena nyanyian itu berasal dari setan dan ujung akhirnya adalah murka Allah. Aku mengetahui dari para ulama yang terpercaya bahwa mendengarkan nyanyian dan alat musik serta gandrung padanya hanya akan menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air menumbuhkan rerumputan. Demi Allah, menjaga diri dengan meninggalkan nyanyian sebenarnya lebih mudah bagi orang yang memiliki kecerdasan daripada bercokolnya kemunafikan dalam hati.”
Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Nyanyian adalah mantera-mantera zina.
Adh Dhohak mengatakan, “Nyanyian itu akan merusak hati dan akan mendatangkan kemurkaan Allah.
Yazid bin Al Walid mengatakan, “Wahai anakku, hati-hatilah kalian dari mendengar nyanyian karena nyanyian itu hanya akan mengobarkan hawa nafsu, menurunkan harga diri, bahkan nyanyian itu bisa menggantikan minuman keras yang bisa membuatmu mabuk kepayang. ... Ketahuilah, nyanyian itu adalah pendorong seseorang untuk berbuat zina.” (Lihat Talbis Iblis, 289)

Empat Ulama Madzhab Mencela Nyanyian


Imam Abu Hanifah membenci nyanyian dan menganggap mendengarnya sebagai suatu perbuatan dosa. (Lihat Talbis Iblis, 282)
Imam Malik bin Anas pun melarang nyanyian dan melarang mendengarkannya. Sampai-sampai Imam Malik mengatakan, “Barangsiapa membeli budak lalu ternyata budak tersebut adalah seorang biduanita (penyanyi), maka hendaklah dia kembalikan budak tadi karena terdapat ‘aib.” (Talbis Iblis, 284)
Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Nyanyian adalah suatu hal yang sia-sia yang tidak kusukai karena nyanyian itu adalah seperti kebatilan. Siapa saja yang sudah kecanduan mendengarkan nyanyian, maka persaksiannya tertolak.” (Talbis Iblis, 283)
Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, “Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan dalam hati dan aku pun tidak menyukainya.” (Talbis Iblis, 280)

Bila Sudah Tersibukkan dengan Nyanyian


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan pelajaran yang sangat berharga sekali, beliau mengatakan,
“Seorang hamba jika sebagian waktunya telah tersibukkan dengan amalan yang tidak disyari’atkan, maka pasti dia akan kurang bersemangat dalam melakukan hal-hal yang disyari’atkan dan bermanfaat. Hal ini jauh berbeda dengan orang yang mencurahkan usahanya untuk melakukan hal yang disyari’atkan. Pasti orang ini akan semakin cinta dan semakin mendapatkan manfaat dengan melakukan amalan tersebut, agama dan islamnya pun akan semakin sempurna.”
Lalu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, ”Oleh karena itu, banyak sekali orang yang terbuai dengan nyanyian (atau syair-syair) yang tujuan semula adalah untuk menata hati. Maka pasti karena maksudnya, dia akan semakin berkurang semangatnya dalam menyimak Al Qur’an. Bahkan sampai-sampai dia pun membenci untuk mendengarnya.” (Iqtidho’ Ash Shiroth Al Mustaqim, 1/543)

Jadi perkataan Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni (yang dijuluki Syaikhul Islam) memang betul-betul terjadi pada orang-orang yang sudah begitu gandrung dengan nyanyian, gitar dan bahkan dengan nyanyian “Islami” (yang disebut nasyid). Tujuan mereka mungkin adalah untuk menata hati. Namun sayang seribu sayang, jalan yang ditempuh adalah jalan yang keliru karena hati mestilah ditata dengan hal-hal yang masyru’ (disyariatkan) dan bukan dengan hal-hal yang tidak masyru’ yang membuat kita sibuk dan lalai dari kalam Robbul ‘alamin yaitu Al Qur’an.


Tentang nasyid yang dikenal di kalangan sufiyah dan bait-bait sya’ir, Syaikhul Islam mengatakan,
“Oleh karena itu, kita dapati pada orang-orang yang kesehariannya dan santapannya tidak bisa lepas dari nyanyian, maka mereka pasti tidak akan begitu merindukan lantunan suara Al Qur’an. Mereka pun tidak begitu senang ketika mendengarnya. Mereka tidak akan merasakan kenikmatan tatkala mendengar Al Qur’an dibanding dengan mendengar bait-bait sya’ir (nasyid). Bahkan ketika mereka mendengar Al Qur’an, hatinya pun menjadi lalai, begitu pula dengan lisannya akan sering keliru.” (Majmu’ Al Fatawa, 11/567)


Sebagai penutup, kami hanya katakan bahwa pengganti nyanyian dan musik adalah dengan mendengarkan Al Qur’an karena inilah yang disyari’atkan dan inilah yang bisa menata dan menghidupkan hati. Jika seseorang meninggalkan musik dan nyanyian, pasti Allah akan memberi ganti dengan yang lebih baik.

إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئاً لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ

Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan sesuatu yang lebih baik.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)


Semoga Allah membuka hati dan memberi hidayah bagi setiap orang yang membaca risalah ini.
Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in. Walhamdulillahi robbil ‘alamin.

***
Diselesaikan di malam hari, 24 Rajab 1430 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel : http://rumaysho.com/hukum-islam/fiqih-umum/2627-nyanyian-telah-membuatku-lalai-dari-nya.html

Kamis, 20 Agustus 2009

Rangkuman artikel menyambut bulan suci Ramadhan 1430

Bismillah

Berikut artikel seputar Ramadhan semoga bermanfaat dalam mempersiapkan ilmu dalam mengisi bulan Ramadhan mendatang.

a. Persiapan Menjelang Ramadhan
1. http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1333 Risalah menyambut bulan suci Ramadhan

2. http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1348 Definisi & Sejarah Turunnya Syariat Shaum Ramadhan

3. http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1316 Hukum Ringkas Puasa Ramadhan

4. http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1320 Puasa Tidak Sekedar Menahan Makan dan Minum

5. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=265 Penentuan Hilal awal bulan Ramadhan dan Syawal

6. http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1339 Memulai Shaum Ramadhan Berdasarkan Ru’yatul Hilal

7. http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1338 Ketika Ru’yatul Hilal Terhalangi oleh Mendung

8. http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1337 Menggunakan metode Hisab dalam penentuan Ramadhan

9. http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1340 Meneropong Keabsahan Ilmu Hisab

10. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=990 Penentuan Awal Hijriyah Bersama Pemerintah

11. http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1336 Pendapat Para Ulama Tentang Perbedaan Lokasi Terbitnya (Mathla') Bulan

12. http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1335 Menyikapi orang yang melihat Hilal sendirian

13. http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1341 Koreksi atas hadits terkait bulan Ramadhan (1)

14. http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1342 Koreksi atas hadits terkait bulan Ramadhan (2)

15. http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1343 Seputar fiqh kewanitaan di bulan Ramadhan (1)

16. http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1344 Seputar fiqh kewanitaan di bulan Ramadhan (1)

17. http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1347 Awas !!! Perkara Pembatal Pahala Puasa Kita

18. http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1490 Fatwa Syaikh Utsaimin Seputar Bulan Ramadhan (baru)

19. http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1500 Fatwa ‘Ulama tentang Ru`yah - Hisab (baru)

20. http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1501 Hukum bersandar pada Hisab Falaki (baru)

21. http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1502 Menyambut Bulan Suci Ramadhan 1430 H (baru)

22. http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1504
Menyambut Ramadhan Sesuai Tuntunan Nabi (baru)

23. http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1506 Doa Ketika Melihat Hilal (baru)

b. Memasuki bulan suci Ramadhan
1. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1106 Introspeksi Diri di Bulan Suci Ramadhan

2. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=299 Keutamaan Puasa di Bulan Ramadhan

3. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1354 Hikmah & Fadhilah (Keutamaan) Shaum

4. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=301 Wajibnya Puasa Ramadhan

5. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=302 Targhib (Penyemangat) Bagi yang Puasa Ramadhan

6. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=303 Ancaman bagi yang membatalkan Puasa Ramadhan

7. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=987 Amalan di bulan Ramadhan (Adab, Hikmahnya)

8. http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1334 Puasa di hari yang diragukan

9. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1318 Hal-hal yang dianggap membatalkan Puasa

10. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=304 Hukum-hukum Dalam Puasa Ramadhan

11. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=755 Mengawali dan Mengakhiri Bulan Ramadhan

12. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=305 Niat dalam berpuasa wajib di bulan Ramadhan

13. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=306 Waktu Berpuasa dan yang berkaitan tentangnya

14. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=307 Sahur dalam Puasa di Bulan Ramadhan

15. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1355 Sahur dan yang berkaitan dengannya

16. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=988 Amalan di Bulan Ramadhan (Sahur dan Berbuka)

17. http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1322 Sahur & Berbuka

18. http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1323 Keutamaan Malam Seribu Bulan

19. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=989 Amalan di Bulan Ramadhan (Ibadah malam Lailatul Qadr)

20. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=312 Kelapangan dan Kemudahan dalam Puasa Ramadhan

21. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=313 Petunjuk Berbuka seperti Rasulullah Shalallahu 'alaihi Wassalam

22. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=320 Membayar Hutang Puasa (Qadha') Sesegera Mungkin

23. http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1321 Shalat Tarawih

24. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=321 Bagaimana Sholat Tarawih Sesuai Sunnah Rasulullah

25. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=752 Lagi, bagaimana Rasulullah sholat Tarawih/Lail & ragam raka'atnya

26. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=759 Bantahan : Sholat Tarawih Rasulullah bukan 20 Raka'at

27. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=760 Ringkasan ragam sholat Tarawih & qunut witir Rasulullah

28. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=798 Petunjuk tentang Qunut Witir Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam

29. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=760 Fatwa Syaikh Ibnu Taimiyyah dalam Qunut Witir

30. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=757 Malam Lailatul Qadar, malam Seribu Bulan

31. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=761 I'tikaf seperti Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam

32. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=762 Hukum-hukum sekitar I'tikaf dalam pandangan Ulama' Ahlusunnah

33. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=341 Fatwa Syaikh tentang Hukum I'tikaf

34. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1105
Koreksi Kekeliruan dalam Bulan Ramadhan

35. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=753 Hadits-hadits Lemah yang Berkaitan dengan Bulan Ramadlan

36. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=308 Hal yang wajib dijauhi oleh orang yg shaum (puasa)

37. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=319 Perkara perusak pahala puasa Ramadhan

38. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=309 Hal yang boleh dikerjakan oleh orang yg shaum

39. http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1357 Mengoreksi kekeliruan dalam ibadah Ramadhan kita (1)

40. http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1358 Mengoreksi kekeliruan dalam ibadah Ramadhan kita (2)

41. http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1319 Jima' Saat Puasa Ramadhan

42. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=758 Fatwa-fatwa Seputar Puasa dan Ramadlan

43. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=322 Kafarat / Denda dalam Puasa Ramadhan

44. http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1349 Puasa bagi anak kecil yang belum baligh

45. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=756 Siapa yang layak membayar fidyah secara syar'i ?

46. http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1356 Fidyah & yang terkait dengannya

47. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=777 Zakat Fitrah seperti Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam

48. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=778 Lagi, hadits-hadits lemah sekitar Ramadhan

49. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=121 Bagaimana Menunaikan Zakat Fithri

50. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=764
Beberapa faidah ibadah berpuasa kita

51. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=766 Menunaikan zakat, upaya pembersihan harta kita

52. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=777 Zakat Fitrah seperti Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam

53. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=801 Manfaat Zakat Hati dan Zakat Harta (Maal)

54. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=785 Definisi Zakat dan Hikmah disyariatkannya Zakat

55. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=786 Anjuran berzakat dan ancaman bila tidak membayarnya

56. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=787 Hukum-hukum seputar zakat fitrah

57. http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1107 Zakat Fitrah Pembersih Jiwa

58. http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1505 Hukum Menunda Pembayaran Hutang Puasa (baru)

c. Memasuki Hari Raya Iedhul Fithri

1. Rangkuman artikel seputar Hari Raya Iedhul Fithri http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=800

Redaksi Salafy.or.id